|
ABSTRAK
Di berbagai perguruan tinggi di Barat (Eropa dan Amerika)
agama Islam dan fenomena umat Islam menjadi salah satu subjek kajian yang
dipandang penting. Dalam kajian ilmiah humaniora, banyak ilmuan Barat yang
menjadikan studi Islam sebagai karir akademik mereka yang menghasilkan kaum
orientalis, atau istilah yang lebih moderat disebut Ismalolog Barat. Karya
mereka ikut memberikan kontribusi dalam studi Islam, namun seringkali konklusi
yang mereka hasilkan dipandang oleh sebagian ilmuan Muslim sebagai pandangan
yang tidak sesuai ajaran Islam yang sebenarnya.
Karena itu, tulisan ini bertujuan untuk
mengkaji faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi Barat
tentang Islam dengan apa yang dipahami dan diyakini umat Islam. Kajian ini
bersifat library research dengan pendekatan fenomenologis. Hasil yang
diharapkan adalah agar intelektual muslim dapat berdialog secara konstruktif
dengan orientalis dalam studi Islam, sehingga dapat terhindar dari saling
misunderstanding satu sama lain.
Kata kunci: Studi Islam Orientalis, menuju dialog
- PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sudah menjadi salah satu
kajian kaum orientalis sejak Abad Pertengahan dan di era kontemporer. Kajian
Islam di Barat berkembang terus, sehingga tidak sedikit mahasiswa Muslim yang
belajar Islam di Barat. Hasilnya pun nampak, di mana alumni studi Islam dari
Barat banyak yang tampil sebagai tokoh Islam dan menghasilkan pemikiran
pembaharuan di negeri asal mereka. Tujuan mahasiswa Muslim belajar Islam di
Barat lebih pada aspek metodologis dalam kajian Islam, karena studi Islam di
Barat sejak awal Abad ke-20 lebih
cenderung mangkaji Islam dalam rana saintifik (scientific studies of religion) sehingga produk ilmiah yang
dihasilkan bisa berdialog dengan ilmu pengetahuan lainnya khususnya ilmu social
dan humaniora. Namun, dengan pendekatan saintifik semata akan mengaburkan
dimensi trans-empirik, trans-rasional dan trans-historis dalam agama. Karena
itu sebagai pembaca Muslim perlu kebijaksanaan dalam menilai dan memahami
tulisan-tulisan orientalis tentang Islam, menghindari sikap emosional tetapi
hendaknya melihat alur pikir yang diganakan, metode apa yang diterapkan,
konsisten dalam aplikasi metodik, akurasi data yang ditampilkan, tidak
memanipulasi data untuk ditundukkan pada kepentingan metodik tertentu. Dengan
memahami itu semua pembaca Muslim akan lebih arif dalam menilai tulisan Barat
sehingga tidak menimbulkan sikap emosional yang bisa memicu konflik.
Berdasarkan latar belakang di
atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah: Sejauhmana
perkembangan studi Islam di Barat? Bagaimana citra Islam yang mereka tampilkan?
Metode pendekatan apa yang mereka gunakan?
Bagaimana upaya membangun dialog imiah konstruktif dengan orientalis?
B.
Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk:
1. Menyajikan perkembangan studi Islam di Barat untuk bisa
membedakan mana yang merupakan motif misionaris, kolonialisme, dan motif
politik serta motif kepentingan ilmiah semata.
2. Menyajikan metode yang digunakan orientalis dalam studi Islam
sehingga bisa memahami bila konklusi yang mereka hasilkan tidak sesuai dengan
ajaran Islam.
3. Sebagai langkah membangun dialog konstruktif orientalis dengan ilmuan Muslim dalam studi
Islam sehingga bias menghasilkan kajian ilmiah yang bermutu dan membangun
saling pengertian dalam dunia ilmiah dan hubungan antar bangsa.
C. Metode
Tulisan ini merupakan kajian
literature (library research) dengan
menampilkan sejumlah karya orientalis dalam studi Islam untuk dikaji subtansi
dan metodenya. Meskipun kajiannya tidak komprehensif untuk seorang orientalis,
tetapi setidaknya bisa menjadi sampel mengenai kecenderungan dan corak ilmiah
yang dihasilkan. Penulis menggunakan pendekatan fenomenologis, dengan berusaha
menghindari predisposisi terhadap fakta yang disajikan.
Istilah orientalis dalam tulisan
ini kadang menggunakan kata“sarjana Barat” terjemahan dari “western schoolar”.
Sarjana, dalam hal ini tidak identik dengan alumni S1 di Indonesia tetapi lebih
dimaksudkan “orang Barat yang berkecimpung di dunia Ilmiah”. Kata “orientalis” sudah tidak begitu populer
di Barat, karena kata tersebut sering dihubungkan dengan “pengabdi” bagi
kolonialisme.
II. PERKEMBANGAN KAJIAN ISLAM DI BARAT
Sampai kini
Islam masih tetap menjadi bahan pemikiran kontroversial di mata Barat. Bangsa Barat agaknya sukar menentukan sikap
terhadap Islam; apakah orang Islam itu diperangi saja seperti model perang
salib atau dikristenkan atau diajak hidup berdampingan secara damai
(co-existence) ataukah dijalin hubungan komersial yang saling
menguntungkan.
Persoalan yang dihadapi Barat terhadap Islam seperti di atas telah
muncul sejak Abad Pertengahan, sehingga timbul persepsi-persepsi yang amat
negatif terhadap Islam. Bila dilihat
corak pandangan Barat terhadap Islam di Abad Pertengahan, dapat dikelompokkan
atas dua masa, yaitu masa sebelum tahun 1100 dan masa sesudahnya. Sebelum tahun
1100, terutama di masa Perang Salib (mulai tahun 1095) pemahaman Barat terhadap
Islam amat buruk. Islam dipersepsikan
sebagai agama pedang, Orang Islam digambarkan sebagai orang Bar-bar yang haus
darah dan merupakan bahaya bagi iman Kristen.
Dalam suasana konflik perang dengan sendirinya sukar bagi kedua bangsa
memberikan persepsi yang positif.
Sesudah tahun 1100 terutama pada abad ke-13 M nampak gejala persepsi
positif sejumlah tokoh Barat terhadap Islam. William dari Roebruck menyatakan
simpatinya terhadap Islam dan memandang bahwa Islam dan Barat-Kristen setuju
dengan soal-soal fundamental khususnya dalam soal ketuhanan. Roger Bacon (1210-1292 M) seorang tokoh Barat
yang pernah belajar filsafat, teologi dan ilmu alam di universitas Islam di
Spanyol menolak sama sekali strategi Perang Salib. Dia mengusulkan kepada
gereja Katolik agar mendirikan akademi sebagai pusat ilmu pengetahuan dan
sebagai sarana dialog antara Islam dan Kristen Barat.[1]
Akan tetapi persepsi positif seperti itu tidak
merata di kalangan cendekiawan Barat pada masa itu. Di samping itu, seorang penulis Barat pun
sering kali kontroversi dalam dirinya, di satu sisi ia simpatik tetapi di sisi lain menggunakan nada
maki-makian terhadap Islam.[2] Hal seperti itu dilakukan oleh Petrus
Venerabilis ketika mensponsori terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin (tahun 1143 M). Terjemahan Al-Qur’an tersebut tersebar ke
berbagai perpustakaan di Eropa
Barat.[3] Menurut Norman Daniel banyak sumber
tentang Islam yang bisa memberikan informasi yang akurat di Eropa pada Abad
Pertengahan. Bukan saja terhadap
terjemahan Al-Qur’an yang disponsori oleh Venerabilis itu, tetapi juga terhadap
buku-buku Ibnu Ishaq, kitab hadis Bukhari dan Muslim dan kitab syarah kedua
hadits itu serta sumber sumber Kristen Timur.
Akan tetapi orang-orang Barat seperti James dari Vitry dan Roderick dari
Toledo menggunakan sumber yang tidak jelas atau dari tradisi lisan saja. Beberapa sumber otentik dari tulisan ulama
Islam di Spanyol digunakan sebagai rujukan tetapi bukan digunakan untuk
menjelaskan Islam dengan sebenarnya tetapi dengan maksud imej negatif. Pedropascual adalah seorang yang memiliki
sumber-sumber Islam yang otentik tetapi dalam analisisnya tentang Islam selalu
menyelipkan cerita-cerita yang bersifat mengejek di samping keterangan otentik.[4]
Hubungan yang harmonis dunia Islam dan Barat lebih nampak pada masa
pemerintahan Turki Usmani terutama pada saat pemerintahan Turki mengembangkan
politik toleransi. Pandangan Barat lebih positif lagi terhadap Islam ketika
Barat mengalami masa renaisans. Dengan
meningkatnya peranan Turki di dunia internasional berbarengan dengan era
moderen sebagai efek dari masa renaisans menimbulkan simpatik besar bangasa
Barat terhadap Islam. Di abad ke 18
sejumlah penulis Barat membela Islam melawan prasangka negatif (terhadap Islam)
Abad Pertengahan. Menurut Boisard, abad
ke 18 membawa sikap baik terhadap Islam.
Filosof rasionalis Barat menjunjung tinggi kebijaksanaan dan toleransi
Islam (yang digunakan) untuk menyerang dogma Kristen dan absolutisme pada waktu itu.[5] Simon Ockley, seorang guru besar dari
Oxford dalam bukunya History of the saracens (1708) menggambarkan
keunggulan dunia Islam atas dunia Barat.
Di masa ini muncul sebuah terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris
yang dilakukan oleh George Sale (tahun 1734 M) terjemahan Al-Qur’an ini tidak
semata didasarkan pada perspektif Barat tetapi sudah merujuk pada beberape
kitab tafsir ulama khususnya tafsir al-Baedawy.[6]
Edward Gibbon (1737-1794) memberikan penilaian positif terhadap
Islam dan menempatkan Islam pada tempat terhormat. Ia menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah
seorang yang amat toleran, pemimpin yang bijaksana dan seorang legislator yang ulung.[7]
Abad ke 19
sampai abad ke 20 hubungan dunia Islam dengan dunia Barat kembali terganggu
dengan semakin meningkatnya kekerasan imperialisme Barat di sejumlah negara
dunia Islam. Namun di tengah suasana politik kolonialisme yang keras,
terdapat sejumlah nada simpatik terhadap Islam dari intelektual Barat, antara
lain adalah Carlyle dalam karyanya yang berjudul Heroes and Heroworship
(1840), dalam suatu sub bahasanya adalah ”The Hero as Prophet” ia memuji Islam
dan kepemimpinannya Nabi Muhammad. Ia melihat Nabi Muhammad sebagai seorang
figur yang bijaksana dan tulus ikhlas. Dalam salah satu pernyataannya, Calyle
menyatakan bahwa ”saya cukup mengatakan bahwa ketulusannya tidak tergantung
pada dirinya, pribadinya tidak akan
mampu menghasilkan ketulusan seperti itu melainkan ada fakta Yang Maha Agung
yang menganugrahkan kepadanya.[8] Pandangan Calyle tersebut menurut Watt
adalah pengaruh dari terjemahan Al-Qur’an George Sale.[9]
Sampai kini,
umumnya orieantalis membahas Islam dengan pendekatan saintifik. Fenomena Islam dianalisis dengan teori ilmiah
tertentu, misalnya dengan pendekatan historis, sosiologi, psikologis dan sebagainya. Pendekatan tersebut meskipun turut memberikan
konstribusi bagi studi Islam, namun kelemahannya yang besar adalah Islam
ditempatkan sebagai fenomena empirik, fenomena historik dan semata-mata
kontekstual dengan mengabaikan segi tekstual sehingga menghilangkan bahkan
menolak esensi Islam sebagai wahyu Allah.
Pendekatan saintifik dari sejumlah sarjana Barat sering juga dicampurkan
dengan predisposisi agama yang dianutnya, sehingga mengambil konslusi bahwa Islam
adalah ciplakan dari Yahudi dan Kristen,
Islam hanya merupakan salah satu sekte Kristen atau Yahudi yang
sesat. Pandangan orientalis semacam ini
oleh sementara umat Islam dipandang
sebagai penghinaan terhadap Islam sehingga menimbulkan sikap antipati
sejumlah kalangan intelektual Islam terhadap Barat.
Di sisi
lain, sejumlah pandangan intelektual muslim oleh bangsa Barat dikesankan sangat apologis dalam mengeritik
agama dan ideologi Barat. sejak abad pertengahan, sejumlah karya ulama Islam
seperti: Al-Mughni fi Abwab al-Tawhid wa al-adl dan Kitab al-
Majmu’ fi Muhith bi al- Taklif, karangan Abu Hasan al-Jabbar (tokoh
Mu’tazilah), dikesankan oleh bangsa
Barat sangat menjelekkan agama yang mereka anut (Yahudi/ Kristen). Sebuah karya Imam al-Gazali, yaitu Al-Radd
al-Jamil li Ilahiyah Isa bi al-Syarh al-Injil juga menggambarkan kelemahan
agama Kristen, tetapi oleh orieantalis menilai kritikan Iman al-Gazali itu amat
sopan terhadap agama mereka. Di abad 20
ini sejumlah karya intelektual muslim, seperti: The spirit of Islam oleh
Syed Ameer Ali, Islam Misunderstood Religion oleh Muhammad Qutb. Karya
karya Sayyid Qutb, al-Nadwi dan al-Tibawi dikesankan sangat apologis terhadap
peradaban Barat bahkan sering mengandung nada makian terhadap Barat. Mereka ini dicap oleh bangsa Barat sebagai
tokoh fundamentalisme Islam yang menyebarkan bibit-bibit permusuhan terhadap bangsa
Barat.
Pandangan
yang saling menegatifkan antara kedua kelompok bangsa itu akan tetap menjadi
bibit pertentangan di masa depan bila tidak mengubah persepsi masing masing.
Keadaan ini juga dikhawatirkan oleh Donald P. Little bahwa konflik umat Islam
(dikhususkan Islam di Timur Tengah) dengan Barat merupakan perpanjangan
(ekstensi) dari saling persepsi negatif
terhadap agama ideologi kedua kelompok bangsa itu.[10]
Pandangan Little (di tahun 1979) tersebut di masa kini sudah
tidak sepenuhnya mengandung kebenaran karena nampak terjadi perubahan sikap ke
arah saling pengertian bangsa-bangsa Muslim Timur Tengah dengan Barat. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini
Samuel P. Huntington dalam suatu artikelnya: “The Clash of Civilization” dalam Foreign
Affair (1993) melontarkan suatu tesa bahwa dengan berakhirnya perang dingin
maka di masa depan akan terjadi benturan peradaban yang sengit. Delapan sumber
peradaban dunia menurut Huntington adalah :Barat (kristen) Islam, Komfosius,
Kriten Ortodoks-Slavia Hindu, Budha, Afrika dan Amerika Latin. Tujuh peradaban
(selain Barat) di atas akan berberturan dengan peradaban Barat yang disebutnya West
againts the rest (Barat lawan semua).[11] Sumber peradaban menurut Huntington
tersebut bukan hanya dari budaya tetapi terutama dari agama yang dengan
sendirinya juga bermakna benturan agama. Meskipun berbagai keberatan muncul
terhadap tesis Huntington dia tetap pada prinsipnya bahwa konflik masa depan
adalah konflik peradaban seperti yang dimuat dalam artikelnya yang berjudul:
“If not civilization, What“(Desembar 1993).
III. KONSEP MENUJU DIALOG
KONSTRUKTIF
Sebagaimana dijelaskan bahwa
sampai kini masih terdapat berbagai tulisan intelektual Muslim dan Barat yang
melontarkan persepsi yang saling mendiskritkan satu sama lain. Maka kini diperlukan dialog konstruktif dengan
Barat khususnya dalam studi Islam. Bagaimana pun juga, studi Islam di Barat tetap berkembang dan
sudah menjadi salah satu karier ilmiah sarjana Barat. Apakah kita mengharapkan sarjana Barat harus
mengakui Islam sebagai agama yang haq, sebagai salah satunya agama samawi yang
otentik? Sarjana Barat hanya bisa mengakui demikian bila mereka Islam lebih dahulu,[12]
seperti misalnya Maurice Bucaille Mariam Jamilah, Frithjof Schoun
dan sebagainya. Studi mereka terhadap
Islam dengan sendirinya tidak lepas dari welstanschaung
mereka dengan menerapkan tradisi ilmiah mereka. Ada pendapat dari William
Bijlefeld yang penting kita simak, mengatakan bahwa Islam dan Al Qur’an yang
dipahami Barat dewasa ini, bukanlah Islam sesungguhnya seperti pada umat Islam
tetapi adalah Islam yang mereka “temukan” sendiri.[13] Karena itu dalam melakukan dialog yang
konstruktif dengan sarjana Barat ada beberapa sikap dan pengetahuan yang harus
dimiliki adalah:
A.
Keterbukaan
Pandangan bahwa dengan mengeritik
agama dan peradaban bangsa lain akan meningkatkan martabat agama kita, adalah
suatu anggapan yang keliru. Ada dua
jaminan yang menyebabkan Islam tetap eksis di permukaan bumi, yaitu jaminan
dari Allah SWT (Al-Hijr 9) dan pemahaman serta pengamalan ajaran Islam itu
sendiri oleh ummatnya. Ini berarti bahwa
kritikan-kritikan terhadap Islam tidak akan menurunkan mertabat Islam bila
ummat Islam melaksanakan ajarannya dengan baik.
Di sini, diperlukan sikap keterbukaan dalam mendialogkan Islam serta
memberikan respons terhadap kritikan yang ditujukan pada Islam. Al-Qur’an memberikan tuntunan tentang
bagaimana sikap yang perlu diambil dalam menghadapi suasana dialogis seperti
itu, antara lain dalam Al-Qur’an surah Saba 24 :
Terjemahannya:
Katakanlah:’’
Siapa yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah :”Allah “. Dan sesungguhnya kami
atau kamu ( orang orang musyrik) pasti berada
dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.
Ayat tersebut pertama-tama
mengajak pada kaum musyrikin agar menyadari bahwa sembahan-sembahan mereka
tidak mampu memberikan rezeki. Allah-lah
yang memberikan rezeki dengan menurunkan hujan dari langit atau menghidupkan
tumbuh-tumbuhan untuk dimakan oleh manusia dan hewan ternak dan berbagai sumber
reziki lainnya yang disiapkan oleh Allah.
Kemudian pada ayat (dalam surah Saba 24), di katakan:
و انا او
اياكم لعلي الهدى او فى ضلال مبين
Ayat ini
memberi kesan seolah-olah belum ada kepastian bagi arang yang mengucapkan kata
itu (Nabi) apakah dia yang mendapat petunjuk (karena agama yang dianut: Islam)
atau orang lain (kaum musyrikin) lawan dialognya yang mendapat petunjuk (karena
agamanya: berhala). Dengan kata lain,
dalam ayat di atas seolah-olah belum ada kepastian siapakah sebenarnya dari
kedua belah pihak yang mendapat petunjuk dan siapa yang sesat.
Menurut
al-Qurthuby,[14] ayat tersebut sebenarnya
bermakana:“Kami mendapat petunjuk dan kalian dalam kesesatan yang nyata”.
Demikian pula pendapat al-Thabary, bahwa Nabi yang mengucapkan ayat itu tidak
meragukan sedikitpun akan kebenaran agamanya dan meyakini bahwa ia dalam
hidayah Allah, sedangkan orang lain (kaum musyrikin) dalam kesesatan.[15] Jadi, jika ayat ini memberikan kesan
seola-olah belum ada kepastian siapa di antara kedua belah pihak yang selamat
atau sesat adalah dimaksudkan untuk digunakan dalam interaksi sosial. Bila pihak pertama menyatakan hanya dengan
agamanya itu ia mendapat hidayah dan yang lainnya dalam kesesatan tentu akan
menimbulkan bibit-bibit perselisihan yang merusak hubungan antar ummat
beragama. Ini berarti, bahwa Islam
sangat menghormati dan mengakui eksistensi (dan bukan esensi) agama dan
peradaban bangsa lain, baik dalam skala makro maupun mikro.
B. Pemahaman Konsep-Substansial
Pemahaman
konsep-substansial dimaksudkan untuk melihat corak pandangan Barat terhadap
Islam, bagaimana konseptualisasi yang dihasilkan dalam studi mereka tentang
Islam dan sejauh mana substansi Islam dipahami.
Konseptualisasi Islam oleh sarjana Barat memperlihatkan corak yang
beragam. William Montgomery Watt,
misalnya melihat Islam sebagai
agama Arab yang sesuai dengan watak orang Arab. Karena itu, Islam hanya bisa
berkembang dan bertahan dalam wilayah yang memiliki kultur yang mirip dengan
kultur Arab.[16] W. Montgomery Watt melihat, bahwa
Islam lahir sebagai suatu gerakan
oposisi dan antitesis terhadap pandangan
individualisme yang di anut bangsa Arab
sebelum Islam. Pandangan
individualisme orang Arab muncul karena perubahan sosial dari kehidupan bertani ke kehidupan dagang
(khususnya di Mekah), maka corak solidaritas-kesukuan (tribal-solidarity) bangsa Arab berubah menjadi individualisme. Dalam suasana kehidupan individualime itu,
Islam datang membangun suatu konsep ummah. konsep al-ummah
menurut Watt merupakan tatanan hidup kolektivisme.[17] yang sangat holistik. Di samping itu, sampai sekarang ini masih
terdapat pandangan lama Barat, bahwa
Islam merupakan penyelewengan dari Kristen, dan
Islam merupakan kelompok bid’ah (heresy)
dari agama Kristen. Menurut sejumlah
tokoh Kristen Barat terdapat sejumlah ayat dalam Al-Quran yang mendukung dogma
Kristen tetapi oleh generasi sesudah Nabi Muhammad diubah menjadi anti Kristen
untuk mendukung doktrin Islam yang
bercorak Arab dengan melakukan interpolasi (sisipan) ke dalam ayat itu. Dalam
menghadapi konsep Barat tentang
Islam seperti di atas, umat
Islam dituntut memiliki kearifan
dan wawasan keislaman yang komprehensif. Dalam mendialogkan Islam ke barat sikap yang perlu diambil adalah
tidak menggunakan cara berpikir konflik sebagaimana dalam aliran sosiologi
konflik. Islam tidak boleh ditempatkan
sebagai anti-tesis terhadap agama dan pandangan ideologi, politik dan aliran
ekonomi tertentu .
Islam bukan
anti-tesis terhadap agama Yahudi dan Kristen, Islam hanya mengajak penganutnya untuk berada dalam
kalimat yang sama (tauhid). Islam bukan
anti-tesis terhadap pandangan
individualisme karena dalam Islam, hak-hak individu dijunjung tinggi.
Sebaliknya, Islam bukan anti-tesis terhadap sosialisme karena dalam
Islam ada ajaran solidaritas sosial. Islam pun bukan anti-tesis terhadap
kapitalisme karena Islam menghargai
kapital (modal ) untuk penggerak usaha.
Dalam teori-teori Ilmiah, Islam memiliki dinamika
berpikir yang tidak hanya berpijak pada
pola pikir monologi (sistem tunggal) tetapi juga menghargai cara berpikir paralogi (sistem majemuk). Islam tidak hanya berpikir historik tetapi
juga trashistorik, mengakui ada yang sentral di samping yang perifer, mengakui
cara berpikir kontekstual tetapi tidak mengabaikan yang tekstual (analisis
bahasa dan sastra Al-Qur’an). Islam
meyakini ada kebenaran yang absolut dan ada pula yang relatif. Karena itu,
Islam bukan menganut paham absolutisme dan bukan pula relativisme.
Dengan bekal
pengetahuan yang komprehensif dan cara berpikir dinamis dan keterbukaan,
sarjana Muslim diharapkan dapat berdialog kreatif dan konstruktif dengan
sarjana Barat dan bangsa-bangsa lain. Islam ditempatkan sebagai “tidak
anti-tesis” terhadap agama dan peradaban Barat,
melainkan Islam harus tampil ”juru damai” terhadap berbagai agama dan pandangan kultural, sesuai dengan nama “Islam”
secara harfiah berarti “damai dan sejahtera”.
Hanya dengan demikian, umat Islam akan menjadi ummatan wasathan
(umat penengah) dan sebagai saksi (syuhada) di antara perselisihan umat
manusia seluruhnya (al-Baqarah 143).
C. Pemahaman Metodologis
Pemahaman terhadap
metodik yang digunakan sarjana Barat dalam studi Islam adalah salah satu faktor
yang amat penting dalam melakukan dialog-konstruktif dengan mereka. Sebab,
metode yang mereka gunakan akan mewarnai alur pikir dan turut menentukan kon-septualisasi
dan konklusi yang dihasilkan.
Dapat
dikemukakan contoh, misalnya pendapat Max Weber bahwa Nabi Muhammad adalah
seorang oportunis. Orang-orang Arab masuk Islam hanya karena dorongan ekonomi,
yaitu keinginan untuk mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah).[18] Nabi
Muhammad memobilisasi serdadu-serdadu yang gerakannya ber-orientasi pada
keinginan feudal untuk menguasai tanah.[19]
Pandangan
Max Weber tersebut didasarkan pada telah sosiologi interpretatif (verstehende-sociology),[20] yang
dipadukan dengan teori sosiologi konflik dalam landasan materialistik, walaupun
dalam hal tertentu sosiologi konfliknya berdasarkan pada cita (idealistic).[21] Dengan
sosiologi interpretatif, Weber mengabaikan fakta dari umat Islam sendiri dan
mengenakan begitu saja interpretasi dan kategorinya,[22] Dalam
sosiologi konflik, ia melihat Islam sebagai lawan terhadap lingkungan
sosialnya. Weber berpendapat bahwa konflik dalam mem-perebutkan sumber daya
ekonomi (dasar materialistik ) merupakan ciri dasar kehidupan sosial.[23] Jadi,
metode Weber tersebut tidak hanya diterapkan untuk umat Islam, tetapi juga
untuk kelompok sosial yang lain. Dengan demikian, perspektif sosiologi konflik
plus interpretatif yang menyebabkan Weber mengambil konklusi seperti diatas .
Pendekatan historis
juga banyak mewarnai tulisan sarjana Barat tentang Islam. Pendekatan historis
yang ekstrim adalah aliran historisisme. Historisisme berpendapat bahwa segala
sesuatu di alam ini selalu dalam hubungan waktu, tempat, konteks atau
lingkungan , dan segala yang ada di dunia ini harus dilacak asal usulnya dalam
dunia itu sendiri . Tidak ada sesuatu yang bernilai transenden, tetapi segalanya
sudah “menyejarah”. Pendekatan historis digunakan oleh sarjana Barat itu
sehingga menarik kesimpulan, bahwa Islam bersumber dari agama Yahudi dan
Kristen. Islam adalah ciplakan dari
kedua agama itu.
Pendekatan teologi naturalisrik yang dipadukan dengan teori psikologis
juga sering mewarnai analisis Barat khususnya tentang kewahyuan Al-Qur’an. Pendekatan ini memandang, bahwa apa yang
disebut wahyu adalah fenomena natural. Mac Donald berpendapat bahwa Muhammad
memproduksi wahyu tidak lepas dari suasana psikologisnya yang mengalami kasus
patologis.[24] Dalam
suasana potologis Muhammad berada dalam keadaan tak sadar diri sehingga merasa
mendapat wahyu. Wahyu diperolehnya dalam
keadaan mistik yang ditempuh melalui kehidupan seperti kahin.[25]
Pendekatan fenomenologi juga banyak digunakan oleh
Islamolog Barat, nampaknya menghasilkan konklusi agak positif, karena dalam
kajiannya biasanya merujuk pada sumber utama Islam. William Montgomery Watt
banyak menggunakan pendekatan ini dengan memadukan dengan pendekatan historis. Beliau
ingin mencari kesesuaian ajaran Islam dengan Kristen dengan jalan menetralisir
ajaran Islam yang bernada apologi terhadap Kristen.
Ada beberapa point dalam al-Quran yang dipandang bernada apologis,
oleh Watt berusaha menghilangkan nada apologis tersebut dengan memberikan
interpretasi menurut versi Watt sendiri. Menurut Watt, bila Al-Quran menentang
adanya tiga Tuhan; Yesus dipandang sebagai Tuhan dari tiga tuhan itu (5:73, 4:171), maka
sebenarnya Al-Quran tidak menentang ajaran trinitas dalam agama Kristen, tetapi menentang triteistik.[26]
Penjelasan Watt tersebut dapat dipahami bahwa orang Kristen tidak pernah
percaya pada adanya tiga Tuhan, yakni Tuhan Pencipta segala sesuatu. Dari segi
Tuhan pencipta, maka Islam sama dengan Kristen: hanya satu Tuhan yaitu Allah
yang menciptakan segala sesuatu. Karena
itu menurut Watt bila Al-Quran menentang
kepercayaan tiga Tuhan, sebenarnya bukan agama Kristen asli yang ditantang
tetapi kelompok-kelompok bid’ah yang meyimpang dari ajaran Kristen yang
sebenarnya.
Penjelasan diatas, Watt tidak memperhadapkan ajaran tauhid Islam dan
Trinitas. Ajaran tauhid dalam Islam tidak mengakui adanya Tuhan pencipta selain
Allah dan menolak tawassul dalam menyembah Allah . Watt di sini hanya
menghubungkan ajaran Kristen dan Islam, bahwa satu-satunya pencipta segala
sesuatu adalah Allah. Dalam hal ini Islam tidak apologis terhadap doktrin ketuhanan
Kristen tersebut.
Tentang penyaliban Yesus, Watt memandang cerita peyaliban itu adalah
hasil persepsi masyarakat di lingkungan Nabi Muhammad, tetapi secara esensial
ajaran tentang penolakan penyaliban itu sejalan dengan ajaran Kristen tentang
“kemenangan” Yesus Kristus. Penjelasan
mengenai hal tersebut, Watt terlebih dahulu menjelaskan tentang perbedaan
antara “materi” dan “ajaran” Al-Qur’an.
Untuk melihat perbedaan antara materi dengan ajaran Al-Qur’an, Watt
merujuk pada kisah al-Qur’an, khususnya tentang penolakan penyaliban Yesus.
Dalam ayat penolakan penyaliban Yesus tersebut mengandung ajaran yang sama
dengan ajaran Kristen, tetapi berbeda dalam soal materi ceritanya.
Ajaran yang bersumber dari Tuhan melalui wahyu, misalnya menyangkut soal
etika. Ajaran etika tersebut mengandung
kebenaran abadi yang bersumber dari Tuhan, akan tetapi ajaran tersebut
diadaptasikan dengan lingkungan (milieu) tertentu.[27]
Al-Qur’an menolak penyaliban Yesus (Nabi Isa) seperti diceritakan dalam 4:157,
tetapi menurut Watt penolakan tersebut bersumber dari suatu “ajaran” bahwa
seorang Nabi harus unggul dalam menghadapi tantangan kaumnya, bahkan orang
biasa tetapi adil dan benar harus menang dalam perjuangannya. Karena itu, Tuhan berpihak pada Nabi Isa
dalam usaha menghadapi penganiayaan dari orang-orang Yahudi. Berkenan dengan
ajaran tersebut, Watt mengatakan :
The validity of this “lesson” of the Qur’an may be maintained --
indeed is better maintained -- without claiming that it is a source of
historical information about the first century AD.[28] (Keabsahan “ajaran “al-Qur’an mungkin lebih
dipertahankan --dan sesungguhnya lebih baik dipertahankan -- tanpa mengakui
bahwa ia adalah sumber informasi sejarah pada sekitar abad pertama Hijriyah).
Penjelasan tersebut memperlihatkan, bahwa Watt mengakui kebenaran
esensi “ajaran” yang terdapat dalam penolakan penyaliban Yesus, karena berarti
bahwa ajaran Al-Qur’an berpihak pada Yesus (Nabi Isa) dalam menghadapi
penganiayaan orang-orang Yahudi, dan berati Yesus mendapat pertolongan dari
Tuhan dan menang. Inti ajaran ini
identik dengan ajaran Kristen, walaupun wujud (materi) ceritanya kontradiksi
dengan dogma Kristen. Ajaran Kristen memandang bahwa justru penyaliban Yesus
menunjukkan kemenangannya, sebab kematian Yesus di tiang salib adalah
kemenangan yang diikuti dengan kebangkitannya di kemudian hari dan kelahiran
gereja. Sebaliknya, ajaran Al-Qur’an menyatakan bahwa tidak disalibnya Yesus
adalah suatu kemenangan dan kegagalan orang Yahudi untuk menganiaya Rasul
Tuhan. Cerita Al-Qur’an menyatakan penolakan penyaliban Nabi Isa bersumber dari
persepsi masyarakat yang diambil oleh Nabi Muhammad. Persepsi itu menyatakan
bahwa pekerjaan seorang rasul tidak dapat berakhir dengan kekalahan.[29]
Jadi, menurut Watt “ajaran” yang terkandung dalam penolakan penyaliban Nabi Isa
adalah wahyu dari Tuhan dan secara esensial identik dengan ajaran Kristen yaitu
“kemenangan Yesus”, tetapi meteri ceritanya bersumber dari lingkungan
masyarakat. Meteri cerita tersebut
menurut agama Kristen, tidak benar.
Watt selanjutnya menjelaskan
bahwa penolakan Al-Qur’an terhadap penyaliban Yesus, pada hakikatnya memihak
pada Kristen dan menolak kemenangan orang Yahudi atas orang Kristen.[30]
Watt dalam hal ini melihat kedekatan agama Islam dengan Kristen dibandingan
dengan Yahudi.
Al-Quran juga menyebutkan
pernyataan Nabi Isa tentang akan datangnya seorang Rasul bernama Ahmad (61:6),
yakni Muhammad, dengan perkataan itsmuhu
ahmad. Bila pandangan ini diterima , dengan sendirinya menantang ajaran
Kristen bahwa Yesus sebagai wahyu personal merupakan wahyu yang sempurna dan
universal. Dengan kedatangan Nabi Muhammad, berarti mengurangi keuniversalan
wahyu Kristen tersebut. Watt berpendapat
bahwa kata “ahmad” dalam ayat tersebut bukan nama person (meskipun terdapat
kata ism = nama). Bagi Watt, kata
tersebut adalah kata sifat, jadi tidak pasti menunjuk pada Nabi Muhammad.[31]
Watt mengakui Muhammad sebagai Nabi bukan dalam isyarat ayat tersebut tetapi
dalam realitas ajaran yang dibawa yang menarik sebagian umat manusia. Tetapi
menurut Watt, Kenabian Muhammad hanya
setaraf dengan nabi-nabi dalam Bibel, Perjanjian Lama.[32]
Pemahaman
kita terhadap metodik yang digunakan sarjana Barat dalam studi Islam cukup
membantu untuk memahami penyabab lahinya pandangan mereka terhadap Islam yang
kadang sangat negatif. Bila yang kita
pahami hanya konklusi dan konseptualisasi saja, maka memungkinkan bagi pembaca
Muslim timbul rasa “ketersinggungan iman” yang dengan sendirinya timbul bibit
konflik dan perasaan antipati. Pemahaman
metodik tersebut menyebabkan kita terhindar dari sikap emosional dan menuntun
kita untuk berdialog secara sehat. Salah
seorang ilmuan Barat dalam Studi Islam, Wilfred Cantwell Smith menghimbau agar
sarjana Barat dalam studi Islam hendaknya memperlakukan fakta dari Islam secara
jujur dan menerapkan metode ilmiah dengan adil.[33]
Dengan
demikian, jelas bahwa dalam berdialog dengan sarjana Barat tidak hanya
diperlakukan wawasan keislaman yang luas tetapi juga diperlukan kemampuan
metodologi ilmiah. salah satu doktrin
ilmiah Barat yang memandang ilmu sebagai metode (science is method). Sebuah karya ilmiah harus harus konsisten
menerapkan metode ilmiah tertentu.
Dengan doktrin ini seringkali terjadi manipulasi fakta untuk ditundukkan
pada kehendak metode yang digunakan.
Pendekatan fenomenologi dipandang tepat dalam studi
agama. Walaupun terdapat kelemahan
pendekatan ini, yakni menganut puralisme kebenaran, yang memandang semua agama
benar. Tetapi sisi keistimewaannya adalah meneliti agama menurut agama itu
sendiri dengan menghindari predisposisi dan prasangka agama yang dianut oleh
peneliti. Fazlur Rahman menyambut baik
pendekatan ini digunakan dalam studi Islam.[34] Menurut James E. Royster, hanya dengan
pendekatan fenomenologi yang mampu menjelaskan dimensi-dimensi kebenaran Islam
yang dan memahami tradisi Islam menurut perspektif Islam sendiri.[35] Tetapi Geo Widengren menyayangkan bahwa
metode ini amat sedikit digunakan oleh sarjana Barat dalam studi Islam.[36]
Sarjana Barat yang menggunakan metode ini dalam studi Islam Adalah: William
A.Bijlefeld, Marcel A. Boisard, Geo Widengren, A. Roest Crollius Ary dan
sebagainya.
IV.
KESIMPULAN
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa dengan semakin
berkembangnya studi Islam di Barat, maka dari sisi sebagai sarjana Muslim dituntut kemampuan
ilmu pengetahuan yang semakin luas dan memiliki wawasan metodologi yang
ditunjang oleh sikap keterbukaan dalam berdialog dengan sarjana Barat. Ini
berarti, studi orientalisme (dari sisi kita bangsa Timur disebut
oksidentalisme) perlu semakin ditingkatkan di perguruan tinggi Islam dalam
rangka menghadapi perkembangan dunia global, khususnya dalam kajian Islam.
[1] R.W. Southern, Western Views of Islam in the Middle
Ages (Harvard University Press, 1962), pp.57-61.
[2]Richard Bell, Introduction to the Qur’an (Edinburgh
at the University Press, 1962), pp. 57-61
[3] Norman
Daniel, Islam and the West: The Making of An Image (Edinburgh at the
University Press, 1966), p. 19.
[4]Norman
Daniel, Islam Europe and Empire (Edinburgh at the University Press,
1966), p. 6.
[5]Marcel
A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terjemahan H.M. Rasyidi (Jakarta;
Bulan Bintang, 1980), p. 87.
[6] W.Motgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an
(Edinburgh at the University Press, 1970), p. 174.
[7]Maxime
Rodinson, “The Western Image and the Wastern Studies of Islam”, dalam The
Legacy of Islam (Oxford at the Clarendon Press, 1974), pp. 38-39.
[8]W.Montgomery Watt, “Carlyle on Muhammad”, dalm The
Hibbert Journal , Vol. XLIX, April 1951, p. 253
[9]Lihat Ibid.
[10]Donald P. Little, “Three Arabs Critique of
Orientalism”, dalam The Muslim World , No. 69, 1979, p. 114.
[11]
Samuel P. Huntington, “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia”,
terjemahan Saiful Mazani, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV,
1993, p. 13.
[12] Pandangan
yang sama dikemukakan oleh Ringgren
bahwa non-Muslim tidak dapat menangkap
nilai-nilai yang terdalam pada al-Qur’an.
Lihat Helmer Ringgren, “Islam in Western Research”, dalam The Islamic
Literature , Vol. VIII, Mei-Juni 1956, No. 5-6, p. 321.
[13]William A. Bijlefeld, “Islamic Studies within the
Perspective of History of Religion”, dalam The Muslim World , Vol. 62,
1972, p. 36.
[14]Al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby, Juz VI, Mesir:
Dar al-Sya’by, t.th. p. 5381.
[15]Ibnu Jarir al-Thabary, Tafsir al-Thabary, Juz
XXII, Mesir Mustafa al-Baby al-Halaby, 1966, p. 1968.
[16]W.Motgomery
Watt, “Economic and Social Aspects of the Origin of Islam”, dalam The
Islamic Quarterly, Vol. I, No.1 April 1954, p. 97.
[17] Lihat ibid.
[18] Lihat Briyan Turner, op. cit.,p. 20.
[19] Lihat ibid., p. 56
[20] Lihat ibid.,
p. 6.
[21]Stephen K.Sanderson, Sosiologi Makro, terjemahan
Farid Wajdi dan S. Menno (Jakarta: Rajawali Press, 1991), p. 13.
[23] Sanderson, loc. cit.
[24] Lihat Duncan Black Mac Donald, The Religious
Attitude and Life of Islam (New York: AMS Press, 1979), p. 6-7
[25]Lihat Duncan Black Mac Donald, “Doctrin of Revelation
in Islam”, dalam The Muslim World, No. 7, 1917, pp. 116-117.
[26]W.Montgomery
Watt, “The Christianity Critized in the Qur’an”, dalam The Muslim World, No. 57, 1967, p. 198.
[27] .Montgomery Watt, Islamic
Revelation in the Modern World Edinburgh at the University Press, 1969), p.
48.
[28] Ibid., p. 56.
[29] Ibid., p. 55.
[30] W.Montgomery Watt, “The Christianity Critized in the
Qur’an”, p. 200.
[31] W.Montgomery Watt, “His Name is Ahmad”, dalam The Muslim World, N0. 43, 1953, pp. 113 et
passim.
[32] Watt, Islamic
Revelation, p. 110.
[33]Lihat Wilfred Cantwell Smith, Comparative Religions
Whither -- and Why?, dalam Mircea Eliade (ed.), The History of Religions:
Essays in Methodology (The University Press, 1974), p. 43-44.
[34]Lihat Fazlur Rahman, Approaches to Islam in Religious
Studies, Review Essays”, dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam
in Religious Studies (The University of Arizona Press, 1985), p. 198.
[35]Lihat James E. Royster, “The Study of Muhammad: A Survey
Approaches from Perspectives of History and Phenomenology of Religion”, dalam The
Muslim World, No. 62, 1972, p. 56.
[36]Lihat Geo Widengren, “Some Remarks on Methods of the
Phenomenology of Religion”, dalam Acta Universitatis Upsaliensis, No.
17, 1968, p. 260.
==============================================
KEPUSTAKAAN
[1] Bell,
Richard. Introduction to the Qur’an (Edinburgh
at the University Press, 1962)..
[2] Bijlefeld, William. A. “Islamic Studies
within the Perspective of History of Religion”, dalam The Muslim World ,
Vol. 62, 1972.
[3] Black Mac Donald, Duncan. The Religious Attitude and Life of
Islam (New York: AMS Press, 1979).
[4]
_________ “Doctrin of Revelation in Islam”, dalam The Muslim World,
No. 7, 1917.
[5] Boisard, Marcel A. Humanisme dalam Islam, terjemahan H.M.
Rasyidi (Jakarta; Bulan Bintang, 1980).
[6] Daniel, Norman. Islam and the West: The
Making of An Image (Edinburgh at the University Press, 1966).
[7] Fazlur Rahman, Approaches to Islam in
Religious Studies, Review Essays”, dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches
to Islam in Religious Studies (The University of Arizona Press, 1985).
[8] Huntington, Samuel P. “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik
Dunia”, terjemahan Saiful Mazani, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5,
Vol. IV, 1993.
[9] Ibnu Jarir al-Thabary, Tafsir al-Thabary,
Juz XXII, Mesir Mustafa al-Baby al-Halaby, 1966.
[10] Little, Donald P. “Three Arabs Critique of Orientalism”, dalam The
Muslim World , No. 69, 1979.
[11]
Norman Daniel, Islam Europe and Empire (Edinburgh at the University
Press, 1966).
[12] Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby, Juz VI,
Mesir: Dar al-Sya’by, t.th.
[13] Ringgren, Helmer. “Islam in Western Research”, dalam The
Islamic Literature , Vol. VIII, Mei-Juni 1956, No. 5-6.
[14] Rodinson, Maxime. “The Western Image and the Wastern Studies of
Islam”, dalam The Legacy of Islam (Oxford at the Clarendon Press, 1974).
[15] Royster, James, E. “The Study of Muhammad: A
Survey Approaches from Perspectives of History and Phenomenology of Religion”,
dalam The Muslim World, No. 62, 1972.
[16] Widengren, Geo. “Some Remarks on Methods of the Phenomenology
of Religion”, dalam Acta Universitatis Upsaliensis, No. 17, 1968.
[17] Smith, Wilfred Cantwell. Comparative Religions Whither -- and Why?,
dalam Mircea Eliade (ed.), The History of Religions: Essays in Methodology
(The University Press, 1974).
[18] Southern, R.W., Western Views of Islam in
the Middle Ages (Harvard University Press, 1962),
[19] Sanderson, Stephen. Sosiologi Makro, terjemahan Farid Wajdi
dan S. Menno (Jakarta: Rajawali Press, 1991).
[20] Watt, W. Motgomery. “Economic and Social Aspects of the Origin of
Islam”, dalam The Islamic Quarterly, Vol. I, No.1 April 1954.
[21]___________. Bell’s Introduction to the Qur’an
(Edinburgh at the University Press, 1970).
[22]
___________ “Carlyle on Muhammad”, dalm The Hibbert Journal , Vol. XLIX,
April 1951.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar