Sabtu, 02 Maret 2019

ISLAM DALAM STUDI ORIENTALIS


ISLAM DALAM STUDI ORIENTALIS
Menuju Dialog Konstruktif Orientalis dengan Intelektual Muslim dalam Studi Islam
oleh: Moh. Natsir Mahmud
Dosen Matakuliah Studi Kritis Pemikiran dalam Islam
Program Studi Magister Pendidikan Agama Islam PPs Universitas Muhammadiyah Pare-Pare
Makassar
==========================================================================







 
 






ABSTRAK
Di berbagai perguruan tinggi di Barat (Eropa dan Amerika) agama Islam dan fenomena umat Islam menjadi salah satu subjek kajian yang dipandang penting. Dalam kajian ilmiah humaniora, banyak ilmuan Barat yang menjadikan studi Islam sebagai karir akademik mereka yang menghasilkan kaum orientalis, atau istilah yang lebih moderat disebut Ismalolog Barat. Karya mereka ikut memberikan kontribusi dalam studi Islam, namun seringkali konklusi yang mereka hasilkan dipandang oleh sebagian ilmuan Muslim sebagai pandangan yang tidak sesuai ajaran Islam yang sebenarnya.  Karena itu, tulisan ini bertujuan untuk  mengkaji faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi Barat tentang Islam dengan apa yang dipahami dan diyakini umat Islam. Kajian ini bersifat library research dengan pendekatan fenomenologis. Hasil yang diharapkan adalah agar intelektual muslim dapat berdialog secara konstruktif dengan orientalis dalam studi Islam, sehingga dapat terhindar dari saling misunderstanding satu sama lain.  
Kata kunci: Studi Islam Orientalis, menuju dialog
  1. PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Islam sudah menjadi salah satu kajian kaum orientalis sejak Abad Pertengahan dan di era kontemporer. Kajian Islam di Barat berkembang terus, sehingga tidak sedikit mahasiswa Muslim yang belajar Islam di Barat. Hasilnya pun nampak, di mana alumni studi Islam dari Barat banyak yang tampil sebagai tokoh Islam dan menghasilkan pemikiran pembaharuan di negeri asal mereka. Tujuan mahasiswa Muslim belajar Islam di Barat lebih pada aspek metodologis dalam kajian Islam, karena studi Islam di Barat  sejak awal Abad ke-20 lebih cenderung mangkaji Islam dalam rana saintifik (scientific studies of religion) sehingga produk ilmiah yang dihasilkan bisa berdialog dengan ilmu pengetahuan lainnya khususnya ilmu social dan humaniora. Namun, dengan pendekatan saintifik semata akan mengaburkan dimensi trans-empirik, trans-rasional dan trans-historis dalam agama. Karena itu sebagai pembaca Muslim perlu kebijaksanaan dalam menilai dan memahami tulisan-tulisan orientalis tentang Islam, menghindari sikap emosional tetapi hendaknya melihat alur pikir yang diganakan, metode apa yang diterapkan, konsisten dalam aplikasi metodik, akurasi data yang ditampilkan, tidak memanipulasi data untuk ditundukkan pada kepentingan metodik tertentu. Dengan memahami itu semua pembaca Muslim akan lebih arif dalam menilai tulisan Barat sehingga tidak menimbulkan sikap emosional yang bisa memicu konflik.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah: Sejauhmana perkembangan studi Islam di Barat? Bagaimana citra Islam yang mereka tampilkan? Metode pendekatan apa yang mereka gunakan?  Bagaimana upaya membangun dialog imiah konstruktif dengan orientalis?
B.  Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk:
1.   Menyajikan perkembangan studi Islam di Barat untuk bisa membedakan mana yang merupakan motif misionaris, kolonialisme, dan motif politik serta motif kepentingan ilmiah semata.
2.   Menyajikan metode yang digunakan orientalis dalam studi Islam sehingga bisa memahami bila konklusi yang mereka hasilkan tidak sesuai dengan ajaran Islam.
3.   Sebagai langkah membangun dialog konstruktif  orientalis dengan ilmuan Muslim dalam studi Islam sehingga bias menghasilkan kajian ilmiah yang bermutu dan membangun saling pengertian dalam dunia ilmiah dan hubungan antar bangsa.
C.  Metode
Tulisan ini merupakan kajian literature (library research) dengan menampilkan sejumlah karya orientalis dalam studi Islam untuk dikaji subtansi dan metodenya. Meskipun kajiannya tidak komprehensif untuk seorang orientalis, tetapi setidaknya bisa menjadi sampel mengenai kecenderungan dan corak ilmiah yang dihasilkan. Penulis menggunakan pendekatan fenomenologis, dengan berusaha menghindari predisposisi terhadap fakta yang disajikan. 
Istilah orientalis dalam tulisan ini kadang menggunakan kata“sarjana Barat” terjemahan dari “western schoolar”. Sarjana, dalam hal ini tidak identik dengan alumni S1 di Indonesia tetapi lebih dimaksudkan “orang Barat yang berkecimpung di dunia Ilmiah”.  Kata “orientalis” sudah tidak begitu populer di Barat, karena kata tersebut sering dihubungkan dengan “pengabdi” bagi kolonialisme.

II. PERKEMBANGAN KAJIAN ISLAM DI BARAT
Sampai kini Islam masih tetap menjadi bahan pemikiran kontroversial di mata Barat.  Bangsa Barat agaknya sukar menentukan sikap terhadap Islam; apakah orang Islam itu diperangi saja seperti model perang salib atau dikristenkan atau diajak hidup berdampingan secara damai (co-existence) ataukah dijalin hubungan komersial yang saling menguntungkan. 
Persoalan yang dihadapi Barat terhadap Islam seperti di atas telah muncul sejak Abad Pertengahan, sehingga timbul persepsi-persepsi yang amat negatif terhadap Islam.  Bila dilihat corak pandangan Barat terhadap Islam di Abad Pertengahan, dapat dikelompokkan atas dua masa, yaitu masa sebelum tahun 1100 dan masa sesudahnya. Sebelum tahun 1100, terutama di masa Perang Salib (mulai tahun 1095) pemahaman Barat terhadap Islam amat buruk.  Islam dipersepsikan sebagai agama pedang, Orang Islam digambarkan sebagai orang Bar-bar yang haus darah dan merupakan bahaya bagi iman Kristen.  Dalam suasana konflik perang dengan sendirinya sukar bagi kedua bangsa memberikan persepsi yang positif.  Sesudah tahun 1100 terutama pada abad ke-13 M nampak gejala persepsi positif sejumlah tokoh Barat terhadap Islam. William dari Roebruck menyatakan simpatinya terhadap Islam dan memandang bahwa Islam dan Barat-Kristen setuju dengan soal-soal fundamental khususnya dalam soal ketuhanan.  Roger Bacon (1210-1292 M) seorang tokoh Barat yang pernah belajar filsafat, teologi dan ilmu alam di universitas Islam di Spanyol menolak sama sekali strategi Perang Salib. Dia mengusulkan kepada gereja Katolik agar mendirikan akademi sebagai pusat ilmu pengetahuan dan sebagai sarana dialog antara Islam dan Kristen Barat.[1]
Akan tetapi persepsi positif seperti itu tidak merata di kalangan cendekiawan Barat pada masa itu.  Di samping itu, seorang penulis Barat pun sering kali kontroversi dalam dirinya, di satu sisi ia simpatik  tetapi di sisi lain menggunakan nada maki-makian terhadap Islam.[2] Hal seperti itu dilakukan oleh Petrus Venerabilis ketika mensponsori terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin  (tahun 1143 M).  Terjemahan Al-Qur’an tersebut tersebar ke berbagai perpustakaan di Eropa Barat.[3] Menurut Norman Daniel banyak sumber tentang Islam yang bisa memberikan informasi yang akurat di Eropa pada Abad Pertengahan.  Bukan saja terhadap terjemahan Al-Qur’an yang disponsori oleh Venerabilis itu, tetapi juga terhadap buku-buku Ibnu Ishaq, kitab hadis Bukhari dan Muslim dan kitab syarah kedua hadits itu serta sumber sumber Kristen Timur.  Akan tetapi orang-orang Barat seperti James dari Vitry dan Roderick dari Toledo menggunakan sumber yang tidak jelas atau dari tradisi lisan saja.  Beberapa sumber otentik dari tulisan ulama Islam di Spanyol digunakan sebagai rujukan tetapi bukan digunakan untuk menjelaskan Islam dengan sebenarnya tetapi dengan maksud imej negatif.  Pedropascual adalah seorang yang memiliki sumber-sumber Islam yang otentik tetapi dalam analisisnya tentang Islam selalu menyelipkan cerita-cerita yang bersifat mengejek di samping keterangan otentik.[4]
Hubungan yang harmonis dunia  Islam dan Barat lebih nampak pada masa pemerintahan Turki Usmani terutama pada saat pemerintahan Turki mengembangkan politik toleransi. Pandangan Barat lebih positif lagi terhadap Islam ketika Barat mengalami masa renaisans.   Dengan meningkatnya peranan Turki di dunia internasional berbarengan dengan era moderen sebagai efek dari masa renaisans menimbulkan simpatik besar bangasa Barat terhadap Islam.  Di abad ke 18 sejumlah penulis Barat membela Islam melawan prasangka negatif (terhadap Islam) Abad Pertengahan.  Menurut Boisard, abad ke 18 membawa sikap baik terhadap Islam.  Filosof rasionalis Barat menjunjung tinggi kebijaksanaan dan toleransi Islam (yang digunakan) untuk menyerang dogma Kristen dan absolutisme pada waktu itu.[5] Simon Ockley, seorang guru besar dari Oxford dalam bukunya History of the saracens (1708) menggambarkan keunggulan dunia Islam atas dunia Barat.  Di masa ini muncul sebuah terjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris yang dilakukan oleh George Sale (tahun 1734 M) terjemahan Al-Qur’an ini tidak semata didasarkan pada perspektif Barat tetapi sudah merujuk pada beberape kitab tafsir ulama khususnya tafsir al-Baedawy.[6]  Edward Gibbon (1737-1794) memberikan penilaian positif terhadap Islam dan menempatkan Islam pada tempat terhormat.  Ia menyatakan bahwa Nabi Muhammad adalah seorang yang amat toleran, pemimpin yang bijaksana dan  seorang legislator yang ulung.[7]
Abad ke 19 sampai abad ke 20 hubungan dunia Islam dengan dunia Barat kembali terganggu dengan semakin meningkatnya kekerasan imperialisme Barat di sejumlah negara dunia Islam.  Namun di tengah  suasana politik kolonialisme yang keras, terdapat sejumlah nada simpatik terhadap Islam dari intelektual Barat, antara lain adalah Carlyle dalam karyanya yang berjudul Heroes and Heroworship (1840), dalam suatu sub bahasanya adalah ”The Hero as Prophet” ia memuji Islam dan kepemimpinannya Nabi Muhammad. Ia melihat Nabi Muhammad sebagai seorang figur yang bijaksana dan tulus ikhlas. Dalam salah satu pernyataannya, Calyle menyatakan bahwa ”saya cukup mengatakan bahwa ketulusannya tidak tergantung pada dirinya,  pribadinya tidak akan mampu menghasilkan ketulusan seperti itu melainkan ada fakta Yang Maha Agung yang menganugrahkan kepadanya.[8] Pandangan Calyle tersebut menurut Watt adalah pengaruh dari terjemahan Al-Qur’an George Sale.[9]
Sampai kini, umumnya orieantalis membahas Islam dengan pendekatan saintifik.  Fenomena Islam dianalisis dengan teori ilmiah tertentu, misalnya dengan pendekatan historis, sosiologi, psikologis dan sebagainya.  Pendekatan tersebut meskipun turut memberikan konstribusi bagi studi Islam, namun kelemahannya yang besar adalah Islam ditempatkan sebagai fenomena empirik, fenomena historik dan semata-mata kontekstual dengan mengabaikan segi tekstual sehingga menghilangkan bahkan menolak esensi Islam sebagai wahyu Allah.  Pendekatan saintifik dari sejumlah sarjana Barat sering juga dicampurkan dengan predisposisi agama yang dianutnya, sehingga mengambil konslusi bahwa Islam adalah ciplakan dari Yahudi dan Kristen,  Islam hanya merupakan salah satu sekte Kristen atau Yahudi yang sesat.  Pandangan orientalis semacam ini oleh sementara umat Islam dipandang  sebagai penghinaan terhadap Islam sehingga menimbulkan sikap antipati sejumlah kalangan intelektual Islam terhadap Barat. 
Di sisi lain, sejumlah pandangan intelektual muslim oleh bangsa  Barat dikesankan sangat apologis dalam mengeritik agama dan ideologi Barat. sejak abad pertengahan, sejumlah karya ulama Islam seperti: Al-Mughni fi Abwab al-Tawhid wa al-adl dan Kitab al- Majmu’  fi Muhith  bi al- Taklif,  karangan Abu Hasan al-Jabbar (tokoh Mu’tazilah),  dikesankan oleh bangsa Barat sangat menjelekkan agama yang mereka anut (Yahudi/ Kristen).  Sebuah karya Imam al-Gazali, yaitu Al-Radd al-Jamil li Ilahiyah Isa bi al-Syarh al-Injil juga menggambarkan kelemahan agama Kristen, tetapi oleh orieantalis menilai kritikan Iman al-Gazali itu amat sopan terhadap agama mereka.  Di abad 20 ini sejumlah karya intelektual muslim, seperti: The spirit of Islam oleh Syed Ameer Ali, Islam Misunderstood Religion oleh Muhammad Qutb. Karya karya Sayyid Qutb, al-Nadwi dan al-Tibawi dikesankan sangat apologis terhadap peradaban Barat bahkan sering mengandung nada makian terhadap Barat.  Mereka ini dicap oleh bangsa Barat sebagai tokoh fundamentalisme Islam yang menyebarkan bibit-bibit permusuhan terhadap bangsa Barat.
Pandangan yang saling menegatifkan antara kedua kelompok bangsa itu akan tetap menjadi bibit pertentangan di masa depan bila tidak mengubah persepsi masing masing. Keadaan ini juga dikhawatirkan oleh Donald P. Little bahwa konflik umat Islam (dikhususkan Islam di Timur Tengah) dengan Barat merupakan perpanjangan (ekstensi) dari saling persepsi negatif  terhadap agama ideologi kedua kelompok bangsa itu.[10]  Pandangan Little (di tahun 1979) tersebut di masa kini sudah tidak sepenuhnya mengandung kebenaran karena nampak terjadi perubahan sikap ke arah saling pengertian bangsa-bangsa Muslim Timur Tengah dengan Barat.  Namun dalam beberapa tahun terakhir ini Samuel P. Huntington dalam suatu artikelnya: “The Clash of Civilization” dalam Foreign Affair (1993) melontarkan suatu tesa bahwa dengan berakhirnya perang dingin maka di masa depan akan terjadi benturan peradaban yang sengit. Delapan sumber peradaban dunia menurut Huntington adalah :Barat (kristen) Islam, Komfosius, Kriten Ortodoks-Slavia Hindu, Budha, Afrika dan Amerika Latin. Tujuh peradaban (selain Barat) di atas akan berberturan dengan peradaban Barat yang disebutnya West againts the rest (Barat lawan semua).[11] Sumber peradaban menurut Huntington tersebut bukan hanya dari budaya tetapi terutama dari agama yang dengan sendirinya juga bermakna benturan agama. Meskipun berbagai keberatan muncul terhadap tesis Huntington dia tetap pada prinsipnya bahwa konflik masa depan adalah konflik peradaban seperti yang dimuat dalam artikelnya yang berjudul: “If not civilization, What“(Desembar 1993).

III. KONSEP MENUJU DIALOG KONSTRUKTIF
Sebagaimana dijelaskan bahwa sampai kini masih terdapat berbagai tulisan intelektual Muslim dan Barat yang melontarkan persepsi yang saling mendiskritkan satu sama lain.  Maka kini diperlukan dialog konstruktif dengan Barat khususnya dalam studi Islam. Bagaimana pun juga,  studi Islam di Barat tetap berkembang dan sudah menjadi salah satu karier ilmiah sarjana Barat.  Apakah kita mengharapkan sarjana Barat harus mengakui Islam sebagai agama yang haq, sebagai salah satunya agama samawi yang otentik? Sarjana Barat hanya bisa mengakui demikian bila mereka Islam lebih dahulu,[12]  seperti misalnya Maurice Bucaille Mariam Jamilah, Frithjof Schoun dan sebagainya.  Studi mereka terhadap Islam dengan sendirinya tidak lepas dari welstanschaung mereka dengan menerapkan tradisi ilmiah mereka. Ada pendapat dari William Bijlefeld yang penting kita simak, mengatakan bahwa Islam dan Al Qur’an yang dipahami Barat dewasa ini, bukanlah Islam sesungguhnya seperti pada umat Islam tetapi adalah Islam yang mereka “temukan” sendiri.[13] Karena itu dalam melakukan dialog yang konstruktif dengan sarjana Barat ada beberapa sikap dan pengetahuan yang harus dimiliki adalah:
A.   Keterbukaan
Pandangan bahwa dengan mengeritik agama dan peradaban bangsa lain akan meningkatkan martabat agama kita, adalah suatu anggapan yang keliru.  Ada dua jaminan yang menyebabkan Islam tetap eksis di permukaan bumi, yaitu jaminan dari Allah SWT (Al-Hijr 9) dan pemahaman serta pengamalan ajaran Islam itu sendiri oleh ummatnya.  Ini berarti bahwa kritikan-kritikan terhadap Islam tidak akan menurunkan mertabat Islam bila ummat Islam melaksanakan ajarannya dengan baik.  Di sini, diperlukan sikap keterbukaan dalam mendialogkan Islam serta memberikan respons terhadap kritikan yang ditujukan pada Islam.  Al-Qur’an memberikan tuntunan tentang bagaimana sikap yang perlu diambil dalam menghadapi suasana dialogis seperti itu, antara lain dalam Al-Qur’an surah Saba 24 :
Terjemahannya:
Katakanlah:’’ Siapa yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?”  Katakanlah :”Allah “. Dan sesungguhnya kami atau kamu ( orang orang musyrik) pasti berada  dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. 
Ayat tersebut pertama-tama mengajak pada kaum musyrikin agar menyadari bahwa sembahan-sembahan mereka tidak mampu memberikan rezeki.  Allah-lah yang memberikan rezeki dengan menurunkan hujan dari langit atau menghidupkan tumbuh-tumbuhan untuk dimakan oleh manusia dan hewan ternak dan berbagai sumber reziki lainnya yang disiapkan oleh Allah.  Kemudian pada ayat (dalam surah Saba 24), di katakan:
       و انا او اياكم لعلي الهدى او فى ضلال مبين
Ayat ini memberi kesan seolah-olah belum ada kepastian bagi arang yang mengucapkan kata itu (Nabi) apakah dia yang mendapat petunjuk (karena agama yang dianut: Islam) atau orang lain (kaum musyrikin) lawan dialognya yang mendapat petunjuk (karena agamanya: berhala).  Dengan kata lain, dalam ayat di atas seolah-olah belum ada kepastian siapakah sebenarnya dari kedua belah pihak yang mendapat petunjuk dan siapa  yang sesat. 
Menurut al-Qurthuby,[14] ayat tersebut sebenarnya bermakana:“Kami mendapat petunjuk dan kalian dalam kesesatan yang nyata”. Demikian pula pendapat al-Thabary, bahwa Nabi yang mengucapkan ayat itu tidak meragukan sedikitpun akan kebenaran agamanya dan meyakini bahwa ia dalam hidayah Allah, sedangkan orang lain (kaum musyrikin) dalam kesesatan.[15]  Jadi, jika ayat ini memberikan kesan seola-olah belum ada kepastian siapa di antara kedua belah pihak yang selamat atau sesat adalah dimaksudkan untuk digunakan dalam interaksi sosial.  Bila pihak pertama menyatakan hanya dengan agamanya itu ia mendapat hidayah dan yang lainnya dalam kesesatan tentu akan menimbulkan bibit-bibit perselisihan yang merusak hubungan antar ummat beragama.  Ini berarti, bahwa Islam sangat menghormati dan mengakui eksistensi (dan bukan esensi) agama dan peradaban bangsa lain, baik dalam skala makro maupun mikro.
B.  Pemahaman Konsep-Substansial
Pemahaman konsep-substansial dimaksudkan untuk melihat corak pandangan Barat terhadap Islam, bagaimana konseptualisasi yang dihasilkan dalam studi mereka tentang Islam dan sejauh mana substansi Islam dipahami.  Konseptualisasi Islam oleh sarjana Barat memperlihatkan corak yang beragam. William Montgomery Watt,  misalnya  melihat Islam sebagai agama Arab yang sesuai dengan watak orang Arab. Karena itu, Islam hanya bisa berkembang dan bertahan dalam wilayah yang memiliki kultur yang mirip dengan kultur Arab.[16]  W. Montgomery Watt melihat, bahwa Islam lahir  sebagai suatu gerakan oposisi  dan antitesis terhadap pandangan individualisme  yang di anut bangsa  Arab   sebelum Islam.  Pandangan individualisme orang Arab muncul karena perubahan sosial dari  kehidupan bertani ke kehidupan dagang (khususnya di Mekah), maka corak solidaritas-kesukuan (tribal-solidarity) bangsa Arab berubah menjadi individualisme.  Dalam suasana kehidupan individualime itu, Islam datang membangun suatu  konsep  ummah.  konsep al-ummah menurut Watt merupakan tatanan hidup kolektivisme.[17]  yang sangat holistik.  Di samping itu, sampai sekarang ini masih terdapat pandangan  lama Barat, bahwa Islam merupakan penyelewengan dari Kristen, dan  Islam merupakan kelompok bid’ah (heresy) dari agama Kristen.  Menurut sejumlah tokoh Kristen Barat terdapat sejumlah ayat dalam Al-Quran yang mendukung dogma Kristen tetapi oleh generasi sesudah Nabi Muhammad diubah menjadi anti Kristen untuk mendukung doktrin Islam yang  bercorak Arab dengan melakukan interpolasi  (sisipan) ke dalam ayat itu. Dalam menghadapi  konsep Barat tentang Islam  seperti  di atas, umat  Islam dituntut memiliki kearifan  dan wawasan keislaman yang komprehensif. Dalam mendialogkan Islam  ke barat sikap yang perlu diambil adalah tidak menggunakan cara berpikir konflik sebagaimana dalam aliran sosiologi konflik.  Islam tidak boleh ditempatkan sebagai anti-tesis terhadap agama dan pandangan ideologi, politik dan aliran ekonomi tertentu . 
Islam bukan anti-tesis terhadap agama Yahudi dan Kristen, Islam hanya  mengajak penganutnya untuk berada dalam kalimat yang sama (tauhid).  Islam bukan anti-tesis terhadap pandangan  individualisme karena dalam Islam, hak-hak individu dijunjung  tinggi.  Sebaliknya, Islam bukan anti-tesis terhadap sosialisme karena dalam Islam ada ajaran solidaritas sosial. Islam pun bukan anti-tesis terhadap kapitalisme  karena Islam  menghargai   kapital (modal ) untuk penggerak usaha.
Dalam  teori-teori Ilmiah, Islam memiliki dinamika berpikir  yang tidak hanya berpijak pada pola pikir monologi (sistem tunggal) tetapi juga menghargai cara  berpikir paralogi (sistem majemuk).  Islam tidak hanya berpikir historik tetapi juga trashistorik, mengakui ada yang sentral di samping yang perifer, mengakui cara berpikir kontekstual tetapi tidak mengabaikan yang tekstual (analisis bahasa dan sastra Al-Qur’an).  Islam meyakini ada kebenaran yang absolut dan ada pula yang relatif. Karena itu, Islam bukan menganut paham absolutisme dan bukan pula relativisme.
Dengan bekal pengetahuan yang komprehensif dan cara berpikir dinamis dan keterbukaan, sarjana Muslim diharapkan dapat berdialog kreatif dan konstruktif dengan sarjana Barat dan bangsa-bangsa lain. Islam ditempatkan sebagai “tidak anti-tesis” terhadap agama dan peradaban Barat,  melainkan Islam harus tampil ”juru damai” terhadap berbagai agama dan  pandangan kultural, sesuai dengan nama “Islam” secara harfiah berarti “damai dan sejahtera”.  Hanya dengan demikian, umat Islam akan menjadi ummatan wasathan (umat penengah) dan sebagai saksi (syuhada) di antara perselisihan umat manusia seluruhnya (al-Baqarah 143).
C.  Pemahaman Metodologis
Pemahaman terhadap metodik yang digunakan sarjana Barat dalam studi Islam adalah salah satu faktor yang amat penting dalam melakukan dialog-konstruktif dengan mereka. Sebab, metode yang mereka gunakan akan mewarnai alur pikir dan turut menentukan kon-septualisasi dan konklusi yang dihasilkan.
Dapat dikemukakan contoh, misalnya pendapat Max Weber bahwa Nabi Muhammad adalah seorang oportunis. Orang-orang Arab masuk Islam hanya karena dorongan ekonomi, yaitu keinginan untuk mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah).[18] Nabi Muhammad memobilisasi serdadu-serdadu yang gerakannya ber-orientasi pada keinginan feudal untuk menguasai tanah.[19]
Pandangan Max Weber tersebut didasarkan pada telah sosiologi interpretatif (verstehende-sociology),[20] yang dipadukan dengan teori sosiologi konflik dalam landasan materialistik, walaupun dalam hal tertentu sosiologi konfliknya berdasarkan pada cita (idealistic).[21] Dengan sosiologi interpretatif, Weber mengabaikan fakta dari umat Islam sendiri dan mengenakan begitu saja interpretasi dan kategorinya,[22] Dalam sosiologi konflik, ia melihat Islam sebagai lawan terhadap lingkungan sosialnya. Weber berpendapat bahwa konflik dalam mem-perebutkan sumber daya ekonomi (dasar materialistik ) merupakan ciri dasar kehidupan sosial.[23] Jadi, metode Weber tersebut tidak hanya diterapkan untuk umat Islam, tetapi juga untuk kelompok sosial yang lain. Dengan demikian, perspektif sosiologi konflik plus interpretatif yang menyebabkan Weber mengambil konklusi seperti diatas .
Pendekatan historis juga banyak mewarnai tulisan sarjana Barat tentang Islam. Pendekatan historis yang ekstrim adalah aliran historisisme. Historisisme berpendapat bahwa segala sesuatu di alam ini selalu dalam hubungan waktu, tempat, konteks atau lingkungan , dan segala yang ada di dunia ini harus dilacak asal usulnya dalam dunia itu sendiri .  Tidak ada sesuatu  yang bernilai transenden, tetapi segalanya sudah “menyejarah”. Pendekatan historis digunakan oleh sarjana Barat itu sehingga menarik kesimpulan, bahwa Islam bersumber dari agama Yahudi dan Kristen.  Islam adalah ciplakan dari kedua agama itu.
Pendekatan teologi naturalisrik yang dipadukan dengan teori psikologis juga sering mewarnai analisis Barat khususnya tentang kewahyuan Al-Qur’an.  Pendekatan ini memandang, bahwa apa yang disebut wahyu adalah fenomena natural. Mac Donald berpendapat bahwa Muhammad memproduksi wahyu tidak lepas dari suasana psikologisnya yang mengalami kasus patologis.[24] Dalam suasana potologis Muhammad berada dalam keadaan tak sadar diri sehingga merasa mendapat wahyu.  Wahyu diperolehnya dalam keadaan mistik yang ditempuh melalui kehidupan seperti kahin.[25]
Pendekatan fenomenologi juga banyak digunakan oleh Islamolog Barat, nampaknya menghasilkan konklusi agak positif, karena dalam kajiannya biasanya merujuk pada sumber utama Islam. William Montgomery Watt banyak menggunakan pendekatan ini dengan memadukan dengan pendekatan historis. Beliau ingin mencari kesesuaian ajaran Islam dengan Kristen dengan jalan menetralisir ajaran Islam yang bernada apologi terhadap Kristen.
Ada beberapa point dalam al-Quran yang dipandang bernada apologis, oleh Watt berusaha menghilangkan nada apologis tersebut dengan memberikan interpretasi menurut versi Watt sendiri. Menurut Watt, bila Al-Quran menentang adanya tiga Tuhan; Yesus dipandang sebagai Tuhan  dari tiga tuhan itu (5:73, 4:171), maka sebenarnya Al-Quran tidak menentang ajaran trinitas  dalam agama Kristen, tetapi menentang triteistik.[26] Penjelasan Watt tersebut dapat dipahami bahwa orang Kristen tidak pernah percaya pada adanya tiga Tuhan, yakni Tuhan Pencipta segala sesuatu. Dari segi Tuhan pencipta, maka Islam sama dengan Kristen: hanya satu Tuhan yaitu Allah yang menciptakan segala sesuatu.  Karena itu menurut Watt bila  Al-Quran menentang kepercayaan tiga Tuhan, sebenarnya bukan agama Kristen asli yang ditantang tetapi kelompok-kelompok bid’ah yang meyimpang dari ajaran Kristen yang sebenarnya.
Penjelasan diatas, Watt tidak memperhadapkan ajaran tauhid Islam dan Trinitas. Ajaran tauhid dalam Islam tidak mengakui adanya Tuhan pencipta selain Allah dan menolak tawassul dalam menyembah Allah . Watt di sini hanya menghubungkan ajaran Kristen dan Islam, bahwa satu-satunya pencipta segala sesuatu adalah Allah. Dalam hal ini Islam tidak apologis terhadap doktrin ketuhanan Kristen tersebut.
Tentang penyaliban Yesus, Watt memandang cerita peyaliban itu adalah hasil persepsi masyarakat di lingkungan Nabi Muhammad, tetapi secara esensial ajaran tentang penolakan penyaliban itu sejalan dengan ajaran Kristen tentang “kemenangan” Yesus Kristus.  Penjelasan mengenai hal tersebut, Watt terlebih dahulu menjelaskan tentang perbedaan antara “materi” dan  “ajaran”   Al-Qur’an.
Untuk melihat perbedaan antara materi dengan ajaran Al-Qur’an, Watt merujuk pada kisah al-Qur’an, khususnya tentang penolakan penyaliban Yesus. Dalam ayat penolakan penyaliban Yesus tersebut mengandung ajaran yang sama dengan ajaran Kristen, tetapi berbeda dalam soal materi ceritanya.
Ajaran yang bersumber dari Tuhan melalui wahyu, misalnya menyangkut soal etika.  Ajaran etika tersebut mengandung kebenaran abadi yang bersumber dari Tuhan, akan tetapi ajaran tersebut diadaptasikan dengan lingkungan (milieu) tertentu.[27] Al-Qur’an menolak penyaliban Yesus (Nabi Isa) seperti diceritakan dalam 4:157, tetapi menurut Watt penolakan tersebut bersumber dari suatu “ajaran” bahwa seorang Nabi harus unggul dalam menghadapi tantangan kaumnya, bahkan orang biasa tetapi adil dan benar harus menang dalam perjuangannya.  Karena itu, Tuhan berpihak pada Nabi Isa dalam usaha menghadapi penganiayaan dari orang-orang Yahudi. Berkenan dengan ajaran tersebut, Watt mengatakan :
The validity of this “lesson” of the Qur’an may be maintained -- indeed is better maintained -- without claiming that it is a source of historical information about the first century AD.[28]  (Keabsahan “ajaran “al-Qur’an mungkin lebih dipertahankan --dan sesungguhnya lebih baik dipertahankan -- tanpa mengakui bahwa ia adalah sumber informasi sejarah pada sekitar abad pertama Hijriyah).
Penjelasan tersebut memperlihatkan, bahwa Watt mengakui kebenaran esensi “ajaran” yang terdapat dalam penolakan penyaliban Yesus, karena berarti bahwa ajaran Al-Qur’an berpihak pada Yesus (Nabi Isa) dalam menghadapi penganiayaan orang-orang Yahudi, dan berati Yesus mendapat pertolongan dari Tuhan dan menang.  Inti ajaran ini identik dengan ajaran Kristen, walaupun wujud (materi) ceritanya kontradiksi dengan dogma Kristen. Ajaran Kristen memandang bahwa justru penyaliban Yesus menunjukkan kemenangannya, sebab kematian Yesus di tiang salib adalah kemenangan yang diikuti dengan kebangkitannya di kemudian hari dan kelahiran gereja. Sebaliknya, ajaran Al-Qur’an menyatakan bahwa tidak disalibnya Yesus adalah suatu kemenangan dan kegagalan orang Yahudi untuk menganiaya Rasul Tuhan. Cerita Al-Qur’an menyatakan penolakan penyaliban Nabi Isa bersumber dari persepsi masyarakat yang diambil oleh Nabi Muhammad. Persepsi itu menyatakan bahwa pekerjaan seorang rasul tidak dapat berakhir dengan kekalahan.[29] Jadi, menurut Watt “ajaran” yang terkandung dalam penolakan penyaliban Nabi Isa adalah wahyu dari Tuhan dan secara esensial identik dengan ajaran Kristen yaitu “kemenangan Yesus”, tetapi meteri ceritanya bersumber dari lingkungan masyarakat.  Meteri cerita tersebut menurut agama Kristen, tidak benar.
 Watt selanjutnya menjelaskan bahwa penolakan Al-Qur’an terhadap penyaliban Yesus, pada hakikatnya memihak pada Kristen dan menolak kemenangan orang Yahudi atas orang Kristen.[30] Watt dalam hal ini melihat kedekatan agama Islam dengan Kristen dibandingan dengan Yahudi.
       Al-Quran juga menyebutkan pernyataan Nabi Isa tentang akan datangnya seorang Rasul bernama Ahmad (61:6), yakni Muhammad, dengan perkataan itsmuhu ahmad. Bila pandangan ini diterima , dengan sendirinya menantang ajaran Kristen bahwa Yesus sebagai wahyu personal merupakan wahyu yang sempurna dan universal. Dengan kedatangan Nabi Muhammad, berarti mengurangi keuniversalan wahyu Kristen tersebut. Watt  berpendapat bahwa kata “ahmad” dalam ayat tersebut bukan nama person (meskipun terdapat kata ism = nama). Bagi Watt, kata tersebut adalah kata sifat, jadi tidak pasti menunjuk pada Nabi Muhammad.[31] Watt mengakui Muhammad sebagai Nabi bukan dalam isyarat ayat tersebut tetapi dalam realitas ajaran yang dibawa yang menarik sebagian umat manusia. Tetapi menurut Watt,  Kenabian Muhammad hanya setaraf dengan nabi-nabi dalam Bibel, Perjanjian Lama.[32]
Pemahaman kita terhadap metodik yang digunakan sarjana Barat dalam studi Islam cukup membantu untuk memahami penyabab lahinya pandangan mereka terhadap Islam yang kadang sangat negatif.  Bila yang kita pahami hanya konklusi dan konseptualisasi saja, maka memungkinkan bagi pembaca Muslim timbul rasa “ketersinggungan iman” yang dengan sendirinya timbul bibit konflik dan perasaan antipati.  Pemahaman metodik tersebut menyebabkan kita terhindar dari sikap emosional dan menuntun kita untuk berdialog secara sehat.  Salah seorang ilmuan Barat dalam Studi Islam, Wilfred Cantwell Smith menghimbau agar sarjana Barat dalam studi Islam hendaknya memperlakukan fakta dari Islam secara jujur dan menerapkan metode ilmiah dengan adil.[33]
Dengan demikian, jelas bahwa dalam berdialog dengan sarjana Barat tidak hanya diperlakukan wawasan keislaman yang luas tetapi juga diperlukan kemampuan metodologi ilmiah.  salah satu doktrin ilmiah Barat yang memandang ilmu sebagai metode (science is method).  Sebuah karya ilmiah harus harus konsisten menerapkan metode ilmiah tertentu.  Dengan doktrin ini seringkali terjadi manipulasi fakta untuk ditundukkan pada kehendak metode yang digunakan.
Pendekatan fenomenologi dipandang tepat dalam studi agama.  Walaupun terdapat kelemahan pendekatan ini, yakni menganut puralisme kebenaran, yang memandang semua agama benar. Tetapi sisi keistimewaannya adalah meneliti agama menurut agama itu sendiri dengan menghindari predisposisi dan prasangka agama yang dianut oleh peneliti.  Fazlur Rahman menyambut baik pendekatan ini digunakan dalam studi Islam.[34]  Menurut James E. Royster, hanya dengan pendekatan fenomenologi yang mampu menjelaskan dimensi-dimensi kebenaran Islam yang dan memahami tradisi Islam menurut perspektif  Islam sendiri.[35]  Tetapi Geo Widengren menyayangkan bahwa metode ini amat sedikit digunakan oleh sarjana Barat dalam studi Islam.[36] Sarjana Barat yang menggunakan metode ini dalam studi Islam Adalah: William A.Bijlefeld, Marcel A. Boisard, Geo Widengren, A. Roest Crollius Ary dan sebagainya.
IV. KESIMPULAN
       Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan semakin  berkembangnya studi Islam di Barat, maka dari sisi  sebagai sarjana Muslim dituntut kemampuan ilmu pengetahuan yang semakin luas dan memiliki wawasan metodologi yang ditunjang oleh sikap keterbukaan dalam berdialog dengan sarjana Barat. Ini berarti, studi orientalisme (dari sisi kita bangsa Timur disebut oksidentalisme) perlu semakin ditingkatkan di perguruan tinggi Islam dalam rangka menghadapi perkembangan dunia global, khususnya dalam kajian  Islam.






END NOTES

[1] R.W. Southern, Western Views of Islam in the Middle Ages (Harvard University Press, 1962), pp.57-61.
[2]Richard Bell, Introduction to the Qur’an (Edinburgh at the University Press, 1962), pp. 57-61
[3] Norman Daniel, Islam and the West: The Making of An Image (Edinburgh at the University Press, 1966), p. 19.
[4]Norman Daniel, Islam Europe and Empire (Edinburgh at the University Press, 1966), p. 6.
[5]Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terjemahan H.M. Rasyidi (Jakarta; Bulan Bintang, 1980), p. 87.
[6] W.Motgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an (Edinburgh at the University Press, 1970), p. 174.
[7]Maxime Rodinson, “The Western Image and the Wastern Studies of Islam”, dalam The Legacy of Islam (Oxford at the Clarendon Press, 1974), pp. 38-39.
[8]W.Montgomery Watt, “Carlyle on Muhammad”, dalm The Hibbert Journal , Vol. XLIX, April 1951, p. 253
[9]Lihat Ibid.
[10]Donald P. Little, “Three Arabs Critique of Orientalism”, dalam The Muslim World , No. 69, 1979, p. 114.
[11] Samuel P. Huntington, “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia”, terjemahan Saiful Mazani, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV, 1993, p. 13.
[12] Pandangan yang sama dikemukakan  oleh Ringgren bahwa  non-Muslim tidak dapat menangkap nilai-nilai yang terdalam pada al-Qur’an.  Lihat Helmer Ringgren, “Islam in Western Research”, dalam The Islamic Literature , Vol. VIII, Mei-Juni 1956, No. 5-6, p. 321.
[13]William A. Bijlefeld, “Islamic Studies within the Perspective of History of Religion”, dalam The Muslim World , Vol. 62, 1972, p. 36.
[14]Al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby, Juz VI, Mesir: Dar al-Sya’by, t.th. p. 5381.
[15]Ibnu Jarir al-Thabary, Tafsir al-Thabary, Juz XXII, Mesir Mustafa al-Baby al-Halaby, 1966, p. 1968.
[16]W.Motgomery Watt, “Economic and Social Aspects of the Origin of Islam”, dalam The Islamic Quarterly, Vol. I, No.1 April 1954, p. 97.  
[17] Lihat  ibid.
[18] Lihat Briyan Turner, op. cit.,p. 20.
[19] Lihat ibid., p. 56
[20] Lihat ibid., p. 6.
[21]Stephen K.Sanderson, Sosiologi Makro, terjemahan Farid Wajdi dan S. Menno (Jakarta: Rajawali Press, 1991), p. 13.
[22] Bryan Turner, loc. cit
[23] Sanderson, loc. cit.
[24] Lihat Duncan Black Mac Donald, The Religious Attitude and Life of Islam (New York: AMS Press, 1979), p. 6-7
[25]Lihat Duncan Black Mac Donald, “Doctrin of Revelation in Islam”, dalam The Muslim World, No. 7, 1917, pp. 116-117.
[26]W.Montgomery Watt, “The Christianity Critized in the Qur’an”, dalam The Muslim World, No. 57, 1967, p. 198.
[27] .Montgomery Watt, Islamic Revelation in the Modern World Edinburgh at the University Press, 1969), p. 48.
[28] Ibid., p. 56.
[29] Ibid., p. 55.
[30] W.Montgomery Watt, “The Christianity Critized in the Qur’an”, p. 200.
[31] W.Montgomery Watt, “His Name is Ahmad”, dalam The Muslim World, N0. 43, 1953, pp. 113 et passim.
[32] Watt, Islamic Revelation, p. 110.
[33]Lihat Wilfred Cantwell Smith, Comparative Religions Whither -- and Why?, dalam Mircea Eliade (ed.), The History of Religions: Essays in Methodology (The University Press, 1974), p. 43-44.
[34]Lihat Fazlur Rahman, Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essays”, dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies (The University of Arizona Press, 1985), p. 198.
[35]Lihat James E. Royster, “The Study of Muhammad: A Survey Approaches from Perspectives of History and Phenomenology of Religion”, dalam The Muslim World, No. 62, 1972, p. 56.
[36]Lihat Geo Widengren, “Some Remarks on Methods of the Phenomenology of Religion”, dalam Acta Universitatis Upsaliensis, No. 17, 1968, p. 260.

   ============================================== 

KEPUSTAKAAN

[1]  Bell, Richard.  Introduction to the Qur’an (Edinburgh at the University Press, 1962)..

[2]  Bijlefeld, William. A. “Islamic Studies within the Perspective of History of Religion”, dalam The Muslim World , Vol. 62, 1972.

[3]  Black Mac Donald,  Duncan. The Religious Attitude and Life of Islam (New York: AMS Press, 1979).

[4]  _________ “Doctrin of Revelation in Islam”, dalam The Muslim World, No. 7, 1917.

[5]  Boisard, Marcel A.  Humanisme dalam Islam, terjemahan H.M. Rasyidi (Jakarta; Bulan Bintang, 1980).

[6]  Daniel, Norman. Islam and the West: The Making of An Image (Edinburgh at the University Press, 1966).

[7]  Fazlur Rahman, Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essays”, dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies (The University of Arizona Press, 1985).

[8]  Huntington, Samuel P.  “Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia”, terjemahan Saiful Mazani, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 5, Vol. IV, 1993.

[9]  Ibnu Jarir al-Thabary, Tafsir al-Thabary, Juz XXII, Mesir Mustafa al-Baby al-Halaby, 1966.
[10]   Little, Donald P.  “Three Arabs Critique of Orientalism”, dalam The Muslim World , No. 69, 1979.

[11] Norman Daniel, Islam Europe and Empire (Edinburgh at the University Press, 1966).
[12] Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby, Juz VI, Mesir: Dar al-Sya’by, t.th.

[13]  Ringgren, Helmer.  “Islam in Western Research”, dalam The Islamic Literature , Vol. VIII, Mei-Juni 1956, No. 5-6.

[14]  Rodinson, Maxime.  “The Western Image and the Wastern Studies of Islam”, dalam The Legacy of Islam (Oxford at the Clarendon Press, 1974).

[15]  Royster, James, E. “The Study of Muhammad: A Survey Approaches from Perspectives of History and Phenomenology of Religion”, dalam The Muslim World, No. 62, 1972.

[16]  Widengren, Geo.  “Some Remarks on Methods of the Phenomenology of Religion”, dalam Acta Universitatis Upsaliensis, No. 17, 1968.

[17]  Smith, Wilfred Cantwell.  Comparative Religions Whither -- and Why?, dalam Mircea Eliade (ed.), The History of Religions: Essays in Methodology (The University Press, 1974).

[18]  Southern, R.W., Western Views of Islam in the Middle Ages (Harvard University Press, 1962),

[19]  Sanderson, Stephen.  Sosiologi Makro, terjemahan Farid Wajdi dan S. Menno (Jakarta: Rajawali Press, 1991).

[20]  Watt, W. Motgomery.  “Economic and Social Aspects of the Origin of Islam”, dalam The Islamic Quarterly, Vol. I, No.1 April 1954.

[21]___________.  Bell’s Introduction to the Qur’an (Edinburgh at the University Press, 1970).

[22] ___________ “Carlyle on Muhammad”, dalm The Hibbert Journal , Vol. XLIX, April 1951.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar