PENDEKATAN TEOLOGIS ORIENTALIS
DALAM STUDI ISLAM
Oleh: Moh. Natsir Mahmud
A. Sekelumit Tentang Pendekatan Teologis
Teologis (berasal dari bahasa
Yunani: theos = Tuhan dan logos = ilmu), adalah ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan hubungan Tuhan dengan realitas
dunia.[1] Dalam pengertian klasik, segala
pembicaraan mengenai Tuhan disebut
teologi. Persoalan pokok dalam teologi
adalah menyangkut sifat/hakikat Tuhan dalam kaitannya dengan pengalaman
manusia.[2]
Teologi juga merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang mememuhi kriteria saintifik.
Apa yang disebut saintifik adalah
menggunakan akal dengan kekuatan analisisnya, generalisasinya serta hukum-hukum penarikan kesimpulan, induksi,
deduksi terhadap data pengalaman. Dalam
cara ini dapat ditemukan hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang mendasari dan
mengaitkan fakta dan fenomena yang disajikan serta menyatukan seluruh isi
pengalaman ke dalam satu sistem yang koheren secara keseluruhan. Dengan cara itu dapat digambarkan sebagai
pengetahuan mengenai realitas[3].
Teologi menurut D.S. Adam memenuhi kriteria
tersebut dengan menganalisis dan mensistematisasikan fakta-fakta dan
pengalaman manusia yang beragam dalam hubungannya dengan Tuhannya.[4]
Akan tetapi ada
faktor yang membedakan secara mendasar antara teologi dengan ilmu pengetahuan
lainnya, yaitu teologi mendasarkan diri pada wahyu dan/atau doktrin-doktrin
keagamaan, sedangkan ilmu pengetahuan lain, akal dan indera merupakan sumber epistemologinya. Namun demikian, teologi juga menggunakan
akal, tetapi fungsi akal sebagai instrumen untuk dapat menangkap, menganalisis
dan mensistematisasikan apa yang diperoleh melalui wahyu.[5]
Dengan demikian, teologi menurut Hill bukan iman atau kepercayaan, tetapi
argumentasi pemikiran manusia untuk mendukung keimanannya.[6] Sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan
agama, teologi menurut Lonergan menggunakan metode transenden yang terjadi dalam empat tahap yaitu:
Mengalami, memahami, menilai dan memutuskan.
Pengalaman merupakan data keagamaan, pemahaman berarti menghayati
makna-makna, penilaian adalah mencari atau mengukuhkan kebenaran dan putusan
adalah pengakuan (komitmen) terhadap nilai.
Komitmen pada nilai (agama) diterima sebagai suatu norma yang perlu dipertahankan.
Agama sebagai obyek penelitian
mempunyai dua aspek, yaitu aspek historis dan aspek normatif. Aspek historis menjadi obyek penelitian
sejarah agama dan fenomenologi historis, sedangkan aspek normatif muncul
sebagai kekuatan batin yang memberikan
pengakuan akan “kebenaran” untuk mengatur kehidupan individu dan sosial.[7] Aspek normatif tersebut merupakan tugas
teologi. Joachim Wach menjelaskan bahwa
tugas utama teologi adalah untuk meneliti, memperkuat dan mengajarkan keimanan
dalam suatu komunitas keagamaan serta mengobarkan semangat dan gairan untuk
mempertahankan dan menyebarluaskan keimanan.[8] Di
tempat lain, Wach menjelaskan: “Theology has its own task in identifiying
its own confessinal norms, and none may take this task from it. Theology is concern with understanding and
conforming its own faith”.[9]
(Teologi mempunyai tugasnya sendiri untuk mengidentifikasikan norma-norma yang
menjadi pengakuannya, tidak ada yang mungkin mengambil alih tugas itu. Teologi
cenderung pada pemahaman dan memenuhi keimanannya).
Karena teologi berpijak pada norma
keagamaan untuk mengukuhkan keimanan dan membangkitkan semangat dan gairah
beragama, maka teologi seperti halnya etika termasuk ilmu normatif.[10]
Usaha memperkokoh keyakinan agama dalam teologi kadang-kadang mengambil
sikap apologis, yakni seseorang yang menggunakan pendekatan teologi dalam
membahas agama lain, menyerang keyakinan agama lain untuk memperkokoh keyakinan agama penulis itu.
Akan tetapi tidak semua pendekatan
teologi bersifat apologis. Ada
pendekatan teologi yang bertujuan dialogis dan ada yang bersifat teologi
konvergensi. Teologi dialogis mengkaji
agama-agama dengan berupaya mencari perbedaan-perbedaan pandangan dan diktrin
keagama masing-masing agama, tetapi di
sisi lain juga melihat
kesesuaian-kesesuaian yang memungkinkan terjadi saling mengakui
masing-masing. Pendekatan yang bersifat teologi konvergensi, tidak lagi
melihat perbedaan-perbedaan dalam
doktrin agama-agama tetapi melihat intisari agama-agama yang memiliki kesamaan
masing-masing.
Dalam
penelitian ini akan dikaji ketiga macam pendekatan teologi tersebut.
B. Beberapa
Corak Pendekatan Teologis
Berikut
ini dikemukakan beberapa corak pendekatan teologis yang digunakan oleh para
orientalis dalam studi Islam, sebagai berikut:
1.
Pendekatan Teologi Apologis
Pendekatan teologi apologis, antara
lain dikemukakan pandangan Duncan Black McDonald terhadap Islam. McDonald berasal dari Glasgow, Inggeris. Karir akademiknya mulai tahun 1892 - 1925 di
Hartford Theological Seminary, secara khusus mengambil spesialisasi di bidang
misionaris. Ia menjadi konsultan dan
Guru Besar di bidang Muhammadanisme (studi Islam) sampai masa wafatnya di tahun
1943. Ia menulis lima buah buku, tiga
buku tentang Islam dan dua lainnya tentang agama Yahudi. Ia juga banyak menulis artikel di berbagai
jurnal, misalnya The Muslim World dan tulisan entri bi berbagai
ensiklopedia.
Dengan menggunakan pendekatan
teologi apologis, McDonald memandang Islam sebagai agama yang gagal. Gordon E. Pruett mengomentari pandangan
McDonald tersebut sebagai berikut:
The failure of Islamic prophecy required a Christian
responce, the missionary effort. This effort was not to be merely humanitarian
-- though it certainly was to be that -- but also theological and evangelical. McDonald believed that Muslims are imperiled in
the modern world ( a situation
not solely of their own making);
Christianity -- and Christian
civilization sweetened by the Gospel -- could save them.
The missionary effort was the
effective arm of Christian theology and the proper response of
Christians to the failure of Islam).[11]
(Kegagalan kenabian Islam memerlukan respons Kristen, yakni upaya-upaya
misionaris, upaya tersebut bukan hanya demi kemanusiaan -- meskipun memang juga
demikian adanya -- tetapi juga memerlukan upaya teologis dan pekabaran Injil.
McDonald percaya bahwa umat Islam membahayakan dunia modern, -- dan
peradaban Kristen yang dihiasi
oleh Injil -- maka hanya Kristen yang
dapat menyelamatkan mereka. Usaha
missionaris adalah senjata yang efektif dari teologi Kristen dan respons
Kristen lebih tepat untuk mengatasi kegagalan Islam).
Tentang eksistensi Islam, McDonald
berpendapat bahwa Islam pada mulanya
adalah ajaran Kristen yang diselewengkan
(heresy) oleh keadaan patologis
(penyakit jiwa) Muhammad (“Islam is in
fact a kind of Christian heresy proclaimed by a pathological case”).[12]
Menurut McDonald, Islam adalah
bagian dari pikiran ketimuran.
Karakteristik pemikiran ketimuran menurut-nya ada dua yaitu:
1.
Pikiran
ketimuran sedikit menghargai fakta dan diikuti oleh pantasi yang bebas tetapi di sisi lain terkungkung.
2.
Pikiran
ketimuran tidak menghargai kebebasan berpikir dan kebebasan intelektual.
Pandangan McDonald tersebut
menggabungkan antara pendekatan teologis dengan bias rasial. Menurutnya, bangsa Barat memahami kehidupan
keagamaan Islam dalam dua hal:
1.
Inability to
see life steadily, and see it whole, to understand that a theory of life must
cover all the facts.
2.
Liability to
be stampeded by single idea and blinded to everything else --- therein, I
believe, is the difference between the East and the West.[13]
(1. Ketidak mampuan melihat kehidupan
dengan cara yang bermanfaat, serta tidak mempu melihat secara menyeluruh, untuk
dapat memahami bahwa sebuah teori tentang kehidupan harus mencakup seluruh
fakta.
2. Kecondongan untuk terperangkap oleh idea tunggal dan buta terhadap
sesuatu yang lain --- dalam hal ini saya percaya bahwa itu merupakan perbedaan
antara Timur dan Barat).
Mengenai pandangannya tentang Nabi
Muhammad, McDonald memandang Nabi Muhammad adalah orang yang tidak tercerahkan
oleh roh kudus sehingga tindakannya jauh
dari kebenaran. Dalam kaitannya dengan
peroleh wahyu, McDonald menggambarkan Nabi Muhammad sebagai berikut:
... there is another source which is open to us and
which, with one exception [the individual is not named, although it is probably
either Ibn Khaldun or al-Ghazali] has been entirely neglected by Muslims. It is the study of the parallels which appear
in the case of what we call now a days trance-mediums; the phenomena exhibited
by those mediums who enter a trance, speak in that trance, and give signs in
one way or another while in a hypnotic state.
In such cases, I have no
question, is really to be found the clue to Muhammad.[14]
(... ada sumber lain yang terbuka bagi kita, dan
dengan suatu kekecualian [secara pribadi tidak diketahui namanya, sungguhpun
bukan Ibnu Khaldun dan bukan pula al-Ghazali] yang ditolak sama sekali oleh
orang Islam. Penyelidikan itu selaras
yang nampak dalam suatu kasus dari apa yang kita sebut sekarang ini dengan
masa-masa tak sadar diri [trance-mediums]; fenomena yang diperlihatkan
oleh medium itu orang memasuki keadaan tak sadar, berbicara dalam kondisi tak
sadar dan memberikan tanda-tanda dalam satu atau lain cara bila ada dalam suatu
situasi hipnotis. Dalam hal seperti ini
saya tidak mempersoalkan, adalah benar-benar didasarkan atas renungan
Muhammad).
Dari kutipan di atas menunjukkan
bahwa menurut McDonald, Nabi Muhammad menerima wahyu dalam situasi trance-medium
atau semacam kesurupan. McDonald mau
mendasarkan pandangannya pada pendapat seorang muslim tetapi tidak diketahui
siapa tokoh Islam yang berpandangan seperti itu.
McDonald memandang Nabi Muhammad
adalah seorang ahli sastra yang tidak
tersaingi. Kemampuan sastranya yang
tinggi, sehingga ia mampu menciptakan
karya sastra seperti al-Qur’an.[15] Karena itu apa yang disebut wahyu al-Qur’an adalah produk pikiran
Muhammad. Muhammad mereproduksi wahyu
tidak lepas dari suasana psikologis yang mengalami kasus patologis.[16] Dalam suasana patologis itu, Muhammad berada
dalam keadaan tak sadar diri (trance), sehingga merasa mendapatkan
wahyu. Untuk mencapai hal tersebut
Muhammad hidup menyerupai kahin atau semacam tukang tenung (soothsayer). Karena itu menurut McDonald, wahyu yang diperoleh Muhammad melalui semacam pengalaman
mistik.[17]
Pandangan McDonald tersebut dengan
sendirinya memandang al-Qur’an sebagai ciptaan Muhammad, bukan wahyu dari
Allah.
2.
Pendekatan Teologi Dialogis
Hans Küng
adalah seorang Islamolog Barat (dari Jerman) yang juga banyak mengkaji tentang
Islam. Dalam berbagai tulisannya ia
menggunakan pendekatan teologis, yakni bertolak dari perspektif teologi Kristen
dalam melihat Islam, tetapi perspektif teologis tersebut tidak digunakan untuk
apologis melainkan untuk dialog
antara Islam dan Kristen.
Küng menyajikan pandangan-pandangan teologi
Kristen dalam melihat eksistensi Islam mulai dari pandangan teologis yang intoleran sampai pada
pandangan yang toleran, yang saling
mengakui eksistensi masing-masing agama.
Tujuan Küng adalah untuk menciptakan
mutual-understanding antara kedua agama, tetapi dengan tidak mendasarkan diri
pada konsep konvergensi agama yang berakar pada filsafat perenialisme.
Sebelum memasuki pandangan teologis,
Küng
memberikan gambaran umum tentang Islam, sebagai berikut:
All too often, Christian ... still look upon Islam as a vast monolith, a
closed religious system, rather than as a living religion, a religious movement
that has experienced constant change over the centuries and has acquired a high
degree of inner diversity, a faith shared be concrete men and women with a
broad spectrum of attitudes and feelings.
The task for today is slowly to understand from within why Muslims look
upon God and the world, the worship of God and the service of man, politics,
law, and art thorough different eyes and a different sensibility than do, for example, Christians. Nad the first thing which must be understood is that for Muslims, even
today, Islam as a religion is not just another compartment of life, or what
secular-minded people like to call “ the religious factor”, alongside other
“cultural factors”. On the Contrary,
here we find life and religion ,
religion and culture woven into the living web.
Islam wishes to be an all-embracing view of life, an all-involving
attitude toward life a way to eternal life: a way of salvation. Salvation?
what can a Christian theologian respond
to this claim?[18]
(Hampir semua orang Kristen … masih melihat Islam
sebagai agama monolitik, sebuah sistem keagamaan yang terbuka, lebih dari
sekedar agama kehidupan, sebuah gerakan keagamaan yang mengalami terus menerus
perubahan selama berabad-abad dan menghendaki keanekaan yang lebih dalam
tingkat yang tinggi, sebuah agama yang memandang sama pria dan wanita secara konkrit dengan
sebuah spektrum yang luas mengenai sikap
dan perasaan. Usaha dewasa ini adalah pemahaman yang
lamban dari dalam. Bagaimana
orang Islam memandang Tuhan dan dunia, menyembah Tuhan dan pelayanan manusia di
bidang politik, hukum dan seni melalui pengamatan yang berbeda dan sensibilitas
yang berbeda dengan misalnya, pandangan orang Kristen. Dan hal yang pertama yang harus dipahami
adalah, sekarang ini, bagi orang Islam, bahwa Islam sebagai bukan hanya bagian
kehidupan atau apa yang orang-orang berpikiran sekuler menyebut “faktor
keagamaan” yang berdampingan dengan “ faktor budaya”. Sebagai kebalikannya, di sini [dalam Islam]
kita menemukan kehidupan dan agama,
agama dan budaya teranyam ke dalam sebuah jaringan kehidupan. Islam menghendaki pandangan yang menyeluruh
tentang kehidupan, sebuah determinasi menyeluruh tentang pandangan hidup -- dan
dengan demikian, di tengah-tengah kehidupan temporal ini, suatu jalan untuk
kehidupan yang abdi, yaitu jalan keselamatan. Keselamatan? Apakah
teologi Kristen menghargai pengakuan seperti itu?)
Pertanyaan
teologis yang diajukan Küng tersebut, yakni Apakah Islam merupakan jalan
keselamatan? Pertanyaan ini menjadi
titik tolak untuk melihat apakah Islam sebuah agama yang menyelamatkan
penganutnya bila dilihat dari segi
teologi Kristen. Küng mengemukakan pandangan teolog Kristen seperti Origen,
Cyprian dan Agustinus yang mengeluarkan pernyataan yang terkenal dengan: Extra Ecclesiam nulla sulus, artinya
tidak ada keselamatan di luar gereja[19]. Konsili
Florence di tahun 1442 mengeluarkan
sebuah deklarasi yang menyatakan:
The holy Roman Church ... firmly believes,
confesses, and proclaims that outside the Catholic church no one, neither
heathen nor Jew nor unbeliever nor sehiematic will have a share in eternal
life, but will rather, be subject to the everlasting fire which has been
prepared for the devil and his angels, unless he attaches himself to her (the catholic
church) before his death.[20]
(Gereja suci Roma … dengan tegas percaya, mengakui dan menyatakan bahwa
di luar gereja Katolik tidak ada orang, baik penyembah berhala, tidak pula bagi
orang Yahudi, orang kafir maupun orang yang membuat perpecahan yang akan memperoleh kehidupan yang abadi,
melainkan mereka menjadi orang yang bakal mendapat siksa yang kekal, yang
memang telah dipersiapkan bagi orang yang berdosa beserta malaikatnya, kecuali ia memasuki
[gereja Katolik] sebelum matinya).
Menurut Kung sampai tahun 1952 nada
seperti tersebut di atas kembali lagi diungkapkan dalam sebuah kongregasi
agama. Seorang pastor Katolik dari
Harvard, Romo Leonard Feeney kembali menegaskan bahwa orang yang berada di luar
gereja Katolik adalah orang yang terkutuk.[21] Akan tetapi dalam konstitusi geraja tahun
1965) mengelurkan sebuah deklarasi sebagai berikut:
Men and Women who through no fault of their own do not know the Gospel of
Christ and his church, but who sincerely search for God and who strive search
for God and who strive to do his will, as revealed by the dictates of
conscience, in deeds performed under the influence on his grace, can win
eternal salvation.
(Laki-laki dan perempuan yang terus menerus tidak berbuat salah, menurut
pandangannya sendiri, tidak memahami Kristus dan gereja, namun mereka dengan
sungguh-sungguh berusaha mencari Tuhan dan berusaha keras melaksanakan apa yang
menjadi hasratnya sebagaimana yang diinspirasikan oleh panggilan alam bawah
sadarnya di dalam perbuatan yang
dilakukan di bawah pengaruh maksud baiknya, mereka akan bisa meraih keselamatan
yang abadi.)
Dari kutipan di atas berarti bahwa
orang yang diluar gereja, meskipun tidak menganut sesuatu agama apapun, tetapi
mereka tetap berbuat baik sesuai panggilan hati nuraninya yang bijak, maka
mereka dapat meraih keselamatan.
Khusus pandangan Katolik terhadap
Islam dinyatakan juga dalam sebuah konstitusi Gereja (1965) dinyatakan bahwa:
God’s saving will also embrances those who
acknowledge the Creator, and among them especially the Muslems, who profess the
faith of Abraham and together with us adore the one God, the Marciful one, who
will judge men on the last day.[22]
(Penyelamatan Tuhan juga diberikan
kepada orang yang mengakui adanya pencipta (Tuhan) dan di antara mereka
khususnya orang yang beragama Islam, yakni umat yang mengakui {agama} Ibrahim
dan bersama-sama dengan kita memuja satu Tuhan, Tuhan yang Maha Pengasih dan
mengadili manusia di hari kemudian).
Penjelasan Kung tersebut di atas
menunjukkan bahwa terdapat perkembangan presepsi teologis Kristen khususnya
Katolik terhadap Islam, mulai dari penolakan sebagai agama yang membawa
keselamatan (1952) sampai adanya pengakuan bahwa Islam sebagai agama yang
menyelamatkan umatnya (1965). Dalam
posisi seperti itu, agama Katolik memberikan pengakuan teologis terhadap Islam sehingga Islam
sehingga dapat terjadi dialog yang konstruktif antara kedua agama.
William Montgomery Watt lahir di
Edinburg, Skotlandia tahun 1909. Salah
satu bagian penting dalam pandangan watt adalah dialog intereligius . Dalam
masalah ini, Watt ingin menjalin saling pengertian antar pemeluk agama. Dasar
pemikiran watt, adalah dia melihat dunia sekarang ini menuju ke “dunia yang
satu”.[23] Dia
melihat, bahwa potensi yang kuat untuk membawa ke situasi yang harmonis adalah
melalui agama. Karena itu adalah mungkin terjadi semacam keharmonisan
agama-agama.[24]
Dialog intereligius dalam konsep
Watt, dikhususkan pada hubungan antara Islam dan Kristen termasuk juga Yahudi.
Menurut Watt, masing-masing agama itu memiliki daya “pertahanan “ dan -- kecuali agama Yahudi dan
Hindu -- masing-masing agama mengklaim
diri sebagai agama universal ditujukan kepada semua umat manusia.[25]
Hakikat dialog manurut Watt, Sebagai
upaya untuk saling mengubah pandangan antar penganut agama dan saling terbuka
dalam belajar satu sama lain. Dalam hal ini Watt bermaksud menghilangkan sikap
merendahkan agama seseorang oleh penganut agama yang lain serta menghilangkan
ajaran yang bersifat apologis dari masing-masing agama. C.W. Troll mengomentari
penjelasan Watt tersebut dalam tiga hal: (1) Masing-masing penganut agama
saling mengakui bahwa mereka adalah pengikut Tuhan yang beriman, (2) sebagai
konsekuensi dari yang pertama, perlu merevisi doktrin masing-masing agama untuk
bisa membawa pada keimanan kepada Tuhan secara damai, (3)Melakukan
kritik-kritik dan menghasilkan visi yang baru yang bisa terjadi keharmonisan.[26]
Watt berusaha melakukan
reinterpretasi terhadap ajaran agama yang mengandung nada apologis terhadap
agama lain. Watt dalam hal ini secara khusus melihat doktrin Islam yang bernada
apologis terhadap agama Yahudi dan Kristen.
Sebaliknya dia tidak mengemukakan doktrin-doktrin Yahudi dan Kristen
yang bernada apologis terhadap Islam.
Hal ini cukup dimaklumi karena agama Yahudi dan Kristen lebih dahulu
muncul dari pada Islam. Islam adalah
agama Semetik Abrahamik yang paling terakhir muncul. Karena itu bila dalam kitab suci Islam banyak
memberikan kritikan terhadap kedua agama itu sebelumnya, adalah karena Islam
muncul kemudian. Hanya generasi kemudian yang melakukan kritikan terhadap
generasi yang lalu. Generasi yang lalu
sulit melakukan kritikan terhadap generasi akan datang karena belum ada. Bila ada kritikan, lebih bersifat ramalan
atau perkiraan ke masa depan. Karena
itu, sejumlah penafsir Bibel memandang ada ayat dalam Bibel yang mengandung
kritikan secara tak langsung kepada Islam, yang sifatnya ramalan. Dalam kitab Daniel 7:23-25 dinyatakan bahwa
di masa akan datang akan muncul empat binatang, yakni empat kerajaan. Raja yang terakhir akan mengalahkan tiga raja
lainnya. Raja yang keempat itu akan
melawan Allah dan berusaha mengubah hukum Allah dan pesta agama. Menurut Sauthern, Alvarus seorang penafsir Bibel
mengartikan raja yang keempat itu dengan Islam.[27] Umat Kristen kini juga banyak melakukan
kritikan terhadap Islam, tetapi kritikan itu adalah hasil interpretasi terhadap
ayat-ayat Bibel kemudian dilihat perbedaannya dengan doktrin Islam. Perbedaan itu yang dibarengi dengan sikap
ingin mengunggulkan doktrin Kristen kemudian dijadikan dasar untuk mengeritik
ajaran Islam. Tetapi dalam ajaran Islam,
memang terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang secara langsung memberikan kritikan
terhadap doktrin agama Yahudi dan Kristen.
Kritikan-kritikan langsung al-Qur’an tersebut yang ingin dinetralisir
oleh Watt dengan melakukan penafsiran-penafsiran lain agar unsur kritikan
al-Qur’an tidak nampak. Dengan jalan
demikian menurut Watt sebagai cara untuk menciptakan hubungan harmonis antara
umat Islam dengan agama lain, khususnya terhadap Yahudi dan Kristen.
Di sisi lain, Watt ingin mengubah
persepsi negatif orang Kristen terhadap Islam, meskipun hanya dalam taraf
tertentu. Watt mengakui kenabian Muhammad, Meskipun disetarafkan dengan
Nabi-nabi dalam Perjanjian Lama. Dia juga mengakui Al-Quran sebagai firman
Tuhan namun terdapat sejumlah kekeliruan di dalamnya. Kesamaan Islam dan
Kristen menurut Watt adalah fungsi wahyu sebagai sarana komunikasi antara
manusia dengan Tuhan. Watt juga mengubah pandangan sarjana Barat lainnya,
khususnya Bell, Guru Watt yang memandang al-Quran yang ada sekarang tidak
otentik lagi. Bagi Watt, al-Quran yang ada sekarang otentik, tidak pernah
mengalami perubahan apa yang diterima dari Nabi.
Pandangan
Watt tentang dialog Interreligius berusaha menghilangkan nada kritikan al-Qur’an
terhadap doktrin kristen. Maksud Watt adalah ingin menjalin keharmonisan untuk
mewujudkan hubungan harmonis antara agama Islam dengan agama Kristen. Namun
Watt juga kadang-kadang bias dalam interpretasinya.
Dalam kaitannya dengan kenabian
Muhammad, pendekatan teologi Barat juga mengakui Nabi Muhammad sebagai
Nabi yang disetarakan dengan nabi-nabi
dalam Perjanjian Lama, yaitu nabi-nabi dari bangsa Israil. Dalam hubungan ini Hans Kung menjelaskan:
1. Like
the prophets of Israel, Muhammad based his work not on any office given him by
community (or its authority) but on a special, personal relationship with God.
2. Like
the prophets of Israel, Muhammad was a strong-willed character, who saw himself
as wholly penetrated by his divine vocation, totally taken up by God’s claim on
him, exclusively absorbed by his mission.
3. Like the prophets of Israel, Muhammad spoke out
amid a religious and social crisis. With
his passionate piety and his revolutionary preaching, he stood up against the
wealthy ruling class and the tradition of which it was the gardian.
4. Like
the prophets of Israel, Muhammad, who usually calls himself a “warner”, wished
to be nothing but God’s mouthpiece and to proclaim God’s word, not his own.
5. Like
the prophets of Israel, Muhammad tirelessly glorified the one God, who
tolerates no other gods before him and who is, at the same time, the kindly
Creator and marciful Judge.
6. Like
the prophets of Israel, Muhammad insisted upon unconditional obedience,
devotion and “submission” (the literal meaning of “islam”) to this one
God. He called for every kind of
gratitude toward God and of generosity toward human being.
7. Like
the prophets of Israel, Muhammad linked his monotheism to a humanism,
connecting faith in the one God and his judgement to the demand for social
justice; judgement and redemption, threats against the unjust, who go to hell,
and promises to the just, who are
gathered into God’s Paradise.[28]
Artinya:
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad mendasarkan pekerjaanya bukan sebagai tugas yang diberikan oleh masyarakat (atau berdasarkan otoritasnya sendiri) melainkan merupakan tugas istimewa, yakni sebagai hubungan pribadinya dengan Tuhan.
- Seperti halnya nabi-nabi Israel, Muhammad adalah seorang yang memiliki sifat berkeinginan-kuat, yang melihat dirinya dirasuki secara keseluruhan oleh tugas ketuhanan yang keseluruhannya diperatasnamakan sebagai pengakuan Tuhan atas dirinya.
- Seperti halnya nabi-nabi Israel, Muhammad berbicara di tengah-tengah krisis keagamaan dan sosial. Dengan jiwa kesalehan yang mendalam dan dakwahnya yang revolusioner, ia bangkit melawan kelompok penguasa kaya serta melawan tradisi yang menjadi pedoman.
- Seperti halnya nabi-nabi Israel, Muhammad senantiasa menyebut dirinya sebagai “pemberi ingat” yang menghendaki tiada lain selain dia sebagai juru bicara Tuhan dan menyampaikan firman Tuhan, bukan dari dirinya.
- Seperti halnya nabi-nabi Israel, Muhammad terus menerus mengumandangkan keesaan Tuhan, ia mentolerir tiada Tuhan selain dia dan dalam waktu yang sama, (Tuhan Yang Esa) adalah Pencipta yang Bijaksana serta Hakim yang pengampun.
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad menekankan kepatuhan yang mutlak, ketaatan, dan “kepatuhan” (yang menjadi makna harfiah dari kata “Islam”) kepada Tuhan yang satu. Ia mengajak kepada setiap orang tentang sifat berterima kasih kepada Tuhan dan tentang sifat kemurahan Tuhan kepada umat manusia.
- Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad menghu-bungkan ajaran monoteismenya dengan paham humanisme, menghubungkan iman kepada Tuhan Yang Esa serta pembalasan-Nya dengan tuntutan keadilan sosial; hukuman dan pengampunan, ia perang melawan ketidak adilan yang bisa membawa ke neraka, dan menegakkan keadilan yang bisa membawa ke surga Tuhan.
Pandangan
Kung tersebut di atas menempatkan kenabian Muhammad seperti halnya nabi-nabi
dalam Perjanjian Lama (di kalangan bangsa Israel) seperti: Nabi Amos, Hosea,
Isaiah dan Jeremiah. Dalam perspektif
teologi Kristen nabi-nabi tersebut lebih rendah derajatnya dibanding misalnya
Paulus. Kung melihat aspek lain dari
missi Muhammad – meskipun seandainya ada yang menolak kenabiannya – di mana
ajarannya dapat mengubah hidup manusia.
Dalam kenyataan sosiologis, nampak bahwa ajaran yang dibawa Muhammad
mampu membentuk komunitas keagamaan, segingga sulit diabaikan begitu saja bahwa
ia benar-benar membawa missi ketuhanan.
Dalam kaitan ini Kung menjelaskan:
1. To
this day nearly 800 million men and women living in the vast expanses from
Marocco in the West to Bangladesh in the East, from steppes of Central Asia in
the North to the island of Indonesia in the South, are all marked by the
exacting power of a fith that, more than practically any other, has shaped its
followers into a uniform type.
2. All
these people are bound together by a simple confession of faith (“… there is no
God but God, and Muhammad is his prophet”), by five basic duties (professing
the faith, prayer, almsgiving, a month of fasting, pilgrimage to Mecca), by an
all-pervasive resignation to the will of God (suffering, too, is to be accepted
as an immutable, divine decision).
3. Among
all these peoples there continues to be alive feeling for the fundamental
equality of all human beings before God, and an international brotherhood that
has managed to overcome barriers between the race (Arabs and non-Arabs).[29]
Artinya:
- Sekarang ini hampir 800 juta penduduk pria dan wanita hidup dalam wilayah yang luas dari Maroko di Barat sampai ke Banglades di Timur. Dari padang rumput Asia Tengah di Utara sampai ke kepulauan Indonesia di Selatan, semuanya ditandai oleh kekuatan dari sebuah agama yang tangguh lebih dari kekuatan praktis lainnya, telah membentuk pengikutnya dalam satu kesatuan bentuk.
- Seluruh penduduk diikat oleh sebuah pengakuan iman yang sederhana (yaitu: “ Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasulNya”), oleh lima kewajiban dasar (yaitu: Pengakuan iman {syahadah}, shalat, zakat, puasa Ramadhan dan berhaji ke Mekkah), oleh sebuah sikap pasrah secara mendalam pada kehendak Tuhan (penderitaan juga diterima sebagai ketetapan, yakni putusan Tuhan).
- Di antara semua penduduk ada kontinuitas pada sebuah perasaan hidup untuk kesamaan yang mendasar bagi seluruh umat manusia di hadapan Tuhan, dan sebuah persaudaraan internasional yang mengatur agar dapat diatasi rintangan-rintangan rasial (antara Arab dan non-Arab).
Dengan demikian, menurut Kung, Islam sudah menjadi
kenyataan sebagai sebuah agama dengan doktrin-doktrinnya yang mengatur
kehidupan penganutnya dalam sebuah komunitas keagamaan dengan komitmen yang
mendalam dankepatuhan pada ajaran nabinya.
Bila dilihat dari segi pengakuan
kitab Perjanjian Baru, Kung melihat bahwa Perjanjian Baru menegaskan akan
adanya nabi yang otentik sesudah masa Yesus.
Para pengikutnya mempercayainya dan mengikuti ajaranya, mereka
menafsirkan dan menerjemahkan ajaran-ajarannya sesuai dengan era maupun situasi
baru yang dihadapinya.[30]
Dalam kaitannya dengan doktrin
tentang wahyu, teologi Kristen mengakui dengan “pembenaran” terhadap wahyu di
luar Kristen, sehingga wahyu dalam Islam pun mendapat “pembenaran” dari wahyu
Kristen. Dalam kaitan ini Kung
menjelaskan:
And it should
not be overlooked that alongside such
passages there are also more than a few positive statements about non
Christian world, according to which God
originally manifested himself to all Humanity. Non-Christian, too, the Bible
says, can come to know the true God; they can recognize what the biblical texts
themselves understand to be God’s revelation through creation.[31]
Artinya:
Dan tidak dapat diabaikan bahwa ada sejumlah ayat (dalam Bibel) yang mengandung
statemen positif tentang dunia non-Kristen. Menurut ayat tersebut, Tuhan memanifestasikan
diri-Nya secara murni kepada semua umat manusia. Bibel menyatakan bahwa orang non-Kristen juga
dapat mengetahui Tuhan dengan benar, mereka dapat mengakui apa yang dipahami
sendiri oleh Bibel terhadap adanya wahyu Tuhan melalui makhluk.
Dari
penjelasan tersebut menunjukkan bahwa ada kebenaran wahyu lain selain yang
terdapat dalam Bibel. Selain Bibel ada
wahyu yang bisa memperkenalkan manusia
akan Tuhannya, karena Tuhan dapat memanifestasikan dirinya tidak saja kepada
umat Kristen tetapi kepada semua umat manusia.
Karl Barth seorang teolog Kristen
modern dalam berbagai karyanya menjelaskan adanya wahyu di luar Kristen.
Even Karl Barth was compelled to admit in the last
complete volume (IV/3) of his monumental Church Dogmatics (1958) that alongside
the one “light” of Yesus Christ (which he had laid so much stress on all his
life) there were other “lights” deserving of honor, that a longside the one
word of God there were true words: “profane” words from non-Christian, who also
spoke, in their own way, of God’s grace, forgivenees, reconciliation, and human
faith, …[32]
Artinya:
Karl Bart pun sendiri terpaksa mengakui pada bagian
akhir bab (IV/3) dalam karya monumentalnya, Church Dogmatics (1958) yang
berkenaan dengan kepercayaan pada satu “sinar” Yesus Kristus (yang mana ia
begitu banyak tekankan dalam seluruh kehidupannya), bahwa ada “sinar” lain yang
pantas mendapat penghormatan, bahwa sepanjang adanya satu firman tuhan, maka ada
firman lain yang benar, yaitu firman yang “profan” dari dunia non-Kristen. Firman tersebut juga berbicara dengan caranya
sendiri, mengenai kasih sayang Tuhan, pengampun, perdamaian dan keimanan
manusia, …
Penjelasan
tersebut di atas menunjukkan adanya wahyu lain selain wahyu Bibel, namun wahyu
Bibel dan wahyu-wahyu lainnya lebih rendah derajatnya dibanding wahyu dalam
bentuk manusia yaitu wahyu diri Yesus Kristus sendiri.
Dengan demikian teologi Kristen mengakui
eksistensi agama lain selain Kristen, bahkan pengakuan tersebut adalah
pengakuan esensial, bukan sekedar pengakuan eksistensial saja.
3.
Pendekatan Teologi Konvergensi
Wilfred Cantwell Smith (lahir tahun
1916) dapat dikategorikan menggunakan pendekatan teologi konvergensi. Berbagai
teolog Kristen lainnya bila mengkaji agama lain, mereka melihat agama lain itu
didasarkan pada perspektif Kristus dan perpektif gereja. Hasilnya bersifat apologis dan normatif
karena perpektif Kristus dan gereja sebagai tolok ukur dalam melihat agama lain
dan akan sulit berada pada posisi netral.
Dalam mengkaji agama-agama lain
Smith tidak bertolak dari perspektif Kristus dan gereja tetapi bertolak dari
perspektif ketuhanan (teosentris) dalam melihat agama lain.[33] Smith
melihat kecenderungan dunia masa depan menjadi konvergensi agama yang identik
dengan pandangan filsafat perenialisme.
J.W. Wainwright menjelaskan bahwa: “ .... Smith’s central conviction and
hope -- his belief that the world’s religions are potentially convergent”.[34] (...
keyakinan dan harapan Smith -- adalah kepercayaannya bahwa agama-agama dunia
potensial terjadi konvergensi).
Pandangan konvergensi ingin menyatukan unsur-unsur esensial dalam
agama-agama, sehingga tidak nampak lagi perbedaannya yang esensial. Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya
dapat disatukan dalam satu konsep teologi universal dan umatnya disatukan dalam
satu umat beragama. Smith menghendaki agar
penganut agama-agama dapat menyatu bukan hanya dalam dunia praktis tetapi juga
dalam pandangan teologis. Berkenaan
dengan hal tersebut, Smith menjelaskan bahwa:
On the moral
level, there follows an imperative towards reconciliation, unity, harmony, and
brotherhood. At this level, all men are included: we strive to break down barriers
to close up gulft we recognize all men as neighbours, as fellows as sons of the
universal father, seeking Him and finding Him, being sought by Him and being
found by Him. At this level, we do not
become truly Christian until we have reached out towards a community that turns
mankind into one total “we”.[35]
(Pada level moral, adalah keharusan menuju
rekonsiliasi, kesatuan, keharmonisan dan persaudaraan. Pada level tersebut semua orang tercakup [di dalamnya]: kita
berupaya memecahkan rintangan, dan mendekatkan jurang pemisah. Kita menyadari bahwa semua manusia seperti
hidup bertetangga sebagai pengikut putra dari Bapa universal [Tuhan], dimana
manusia mencariNya dan menemukanNya.
Mereka pun dicari olehNya dan menemukannya. Pada tingkat demikian, kita bukan lagi
benar-benar sebagai seorang Kristen hingga kita tergolong ke dalam sebuah
komunitas yang mengarahkan umat manusia ke dalam totalitas [dengan menyatakan]
“kita”).
Pertanyaan yang timbul adalah di
mana letak titik temu keyakinan agama-agama itu untuk mencapai sebuah
konvergensi agama? Smith terlabih dahulu
membedakan antara faith dengan belief.
Smith mengartikan faith dengan iman. Faith is transcendent aspect of religius[36] (Faith
adalah aspek transenden dalam agama). Dari aspek transenden itu, maka faith
menghubungkan antara manusia dengan Tuhan,[37] yang
merupakan sentral atau titik pusat agama-agama.[38] Tanpa faith akan menimbulkan
nihilisme dan bisa membawa disintegrasi pribadi manusia sehingga merusak
keutuhan diri manusia.[39]
Namun demikian, faith tidak dapat dipisahkan
dengan belief, tetapi secara substantif berbeda dengannya. Belief tidak dapat diartikan dengan
iman, melainkan pandangan, teori dan persepsi mengenai apa yang diimani. Dalam kaitan ini Smith menjelaskan;
1. The
object of faith used to be a person (God and Christ in the Christian case:
Muslims must remember that in Christian understanding God is personal); the
object of believing has come to be an idea, a theory;
2. The
act of faith used to be a decision, the taking of a step, of cosmic
self-commitment; the state of believing has come to be a descriptive, if not
passive, condition.
3. The
mood of faith use to involve one’s relation to absolutes, to realities of
surpassing grandeur and surety; the mood of believing involves one’s relation
to uncertainties, to matters of explicitly questionable validity.[40]
Artinya:
- Obyek faith biasanya terhadap person (Tuhan dan Kristus dalam agama Kristen: Umat Islam harus mengingat bahwa pemahaman orang Kristen tentang Tuhan bersifat personal); sedangkan objek believing adalah pada idea atau teori.
- Tindakan faith bisanya dengan putusan dengan mengambil sebuah langkah mengenai komitmen-diri tentang kosmik; keadaan believing sudah menjadi deskriptif bahkan mungkin passif, terkondisikan.
- Keadaan faith biasanya hubungan seseorang dengan yang absulut, dengan realitas yang tinggi lagi agung; keadaan believing adalah hubungan seseorang dengan yang berubah-ubah, kepada persoalan yang validitasnya masih dipertanyakan.
Penjelasan
tersebut menunjukkan, bahwa faith sebagai iman dan intisari agama,
obyeknya kepada person (langsung kepada Tuhan), sedangkan belief
bersifat teoritis atau menyangkut ide-ide mengenai Tuhan. Karena itu faith berkaitan dengan yang
absolut, sedangkan belief berkaitan dengan sesuatu relatif, masih dalam diskursus sehingga bisa
menimbulkan aneka corak pendapat, bisa menimbulkan perbedaan dan diskusi yang
serius di antara orang-orang yang memiliki belief yang berbeda pada satu
obyek akidah tertentu.
Belief yang berada dalam
wacana pemikiran akidah sebagai hasil kerja dari Ilmu Kalam atau Teologi di
mana di dalamnya terdapat berbagai firqah (aliran) yang saling bertentangan dan
menyerang satu sama lain. Dengan
demikian, belief tidak dapat mempersatukan manusia dalam agama atau
agama-agama menjadi “satu iman” untuk semua.
Namun, perbedaan dalam belief tersebut lahir dari doktrin faith,
karena itu keduanya tidak dapat dipisahkan secara mutlak karena belief
bisa memperkuat faith, tetapi bila faith berada pada titik sentralnya
yaitu transenden dan merasakan hubungan dengan Tuhan maka faith masing-masing
agama dipersatukan.
Belief bersifat historik yang mungkin secara konseptual berbeda dari satu generasi ke generasi yang
lain. Wainwrigh mengomentari pendapat
Smith tersebut sebagai berikut: “Smith frequently calls our attention to the
fact that the importance of belief, and in particular of doctrine or theology,
varies from tradition to tradition”.[41]
(Smith seringkali menarik perhatian kita pada fakta mengenai pentingnya belief
khususnya dalam doktrin-doktrin tertentu ataupun teologi yang bervariasi dari
satu tradisi ke tradisi yang lain). Dalam belief itulah orang beragama
berbeda-beda dan dari perbedaan itu akan
menghasilkan konflik. Sebaliknya dalam faith
umat beragama dapat menyatu. Smith
mengemukakan semboyannya mengatakan: “The faith of all of us”, (Iman
untuk kita semua). Jadi, orang bisa
berbeda dalam belief tetapi menyatu dalam faith. Dalam ungkapan
Smit menyatakan: “diverge in belief, converge in faith”[42]
(beraneka dalam belief, menyatu dalam faith). Sebagai contoh, dalam masyarakat
Islam terdapat berbagai aliran teologis maupun aliran fikih. Mereka mungkin penganut Asy’ariyah atau
mu’tazilah atau pengikut Imam Syafii atau Hambali. Belief mereka berbeda yang mungkin
menimbulkan sikap keagamaan yang berbeda.
Tetapi mereka tetap satu dalam faith (iman). Demikian pula antara penganut agama, mereka
berbeda dalam belief dan respons keagamaan yang berbeda tetapi
hakikatnya menyatu dalam faith. Perbedaan antara faith dengan belief
tersebut, di mana faith merupakan esensi keberagamaan. Seseorang telah merasa dapat menyatukan
agama-agama ke tingkat konvergensi.
Pandangan konvergensi tersebut yang menjadi dasar
bagi Smith melahirkan teorinya mengenai “Theology of the World Religions” (Teologi Agama-Agama Dunia) atau dapat
disebut Theoligi Universal. Dalam teologi tersebut dilakukan deintelectualized
of faith[43] atau
menghilangkan elemen intelektual dalam iman sehingga yang ada hanya penghayatan
batin atau terkaan intuitif terhadap Realitas yang diimani.
Tinjauan Umum
Dari uraian yang lalu dapat dilihat
bahwa pendangan Barat tentang Islam yang menggunakan pendekatan teologis
terdapat nilai positif maupun negatifnya. Pandangan McDonald bahwa Nabi
Muhammad mengalami kasus patologis, semacam kelainan jiwa tidak mempunyai
alasan yang kuat karena dalam kenyataannya, Nabi Muhammad dalam waktu relatif
singkat mampu mendapatkan pengikut dan simpatisan yang banyak. Charles J. Adams sangat menolak pandangan
Barat lainnya yang memandang Nabi Muhammad terkena penyakit histeria dan
epilepsi. Dalam salah satu tulisannya,
Adams menjelaskan:
These views are no longer tenable, however, is view of what is known of
Muhammad’s personality, the single-mindedness of his purpose, and his
transforming effects upon those who heard and followed him. From the Muslim perspective these stories
underline, the special and unusual nature of Muhammad’s state at the time of
revelation. He was not normal self, was
oblivious to his sorrounding and appeared to have been possesed by an outsider
power. His state thus taken as an
evidence that what his proclaimed was, indeed, a revelation from his Lord.[44]
(Akan tetapi pandangan semacam ini [bahwa Nabi
Muhammad menderita penyakit jiwa] tidak akan lama bertahan. Apa yang diketahui tentang kepribadian
Muhammad, cita-citanya dan akibat [dari missi yang dibawakan] dapat mengubah
orang-orang yang mendengarkan dan meng-ikutinya. Menurut pandangan Islam, cerita-cerita itu
menyatakan sifat khas dan luar biasa yang dialami Muhammad pada waktu menerima
wahyu. Dia dalam keadaan tidak normal
[tidak seperti kondisi biasa] melupakan apa yang ada di sekelilingnya dan
nampak dikuasai oleh kekuatan dari luar.
Keadaan ini dipandang sebagai bukti dari apa yang dia sampaikan
sesungguhnya merupakan wahyu dari
Tuhannya).
Pendekatan teologi dialogis
memberikan pengakuan Kristen akan kebenaran agama-agama lain. Dalam pandangan
memberikan pengakuan eksistensial terhadap agama lain. Syed Vahiduddin
menjelaskan bahwa Islampun mengakui keanekaan dalam kehidupan beragama. Dalam penjelasannya menyatakan;
The diversity of religion is thus recognised by
Islam as a part of providence. Though the quran urges humankind to follow the
straight parth which it prescribes, it recognised that no human effort can
change the order of the world in which belief and unbelief co-exist.[45]
Artinya;
(Keanekaan agama diakui oleh Islam sebagai bagian dari pemeliharaan
Tuhan. Meskipun al-Quran mengajak manusia untuk mengikuti jalan yang benar
sebagaimana yang ia anjurkan, tetapi
al-Quran mengakui bahwa tidak ada usaha manusia yang dapat mengubah dunia yang
di dalamnya orang percaya dan orang yang tidak percaya hidup berdampingan).
Berkenaan dengan itu, Islam
menandaskan bahwa seseorang tidak boleh memaksakan keyakinannya kepada orang
lain sebagaimana yang dijelaskan dalam 10:99, yang artinya: “Dan jikalau Tuhan
menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah
kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya?”
Larangan memaksakan keyakinan
seorang muslim terhadap orang lain berarti Islam menghormati keyakinan agama
lain, mengakui perbedaan sehingga bisa menciptakan kerukunan dan kesetiakawanan
sosial.
Pandangan Smith dengan pendekatan
teologi konvergensi menjurus ke pluralisme agama, yaitu pandangan yang
memandang semua agama benar. Agama
disatukan dalam keyakinan faith. Pandangan
seperti ini juga terdapat dalam Islam.
Pengikut pluralisme agama di kalangan intelektual Muslim dewasa ini
mulai berkembang di mana-mana, misalnya Mahmoud Ayoub condong kepada
konvergensi agama. Ia
berdasar pada Alqur’an Surah al-Baqarah 62 sebagai berikut:
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang
benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan
menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.
Ayat
yang sama juga diulangi dalam Surah al-Ma’dah 69:
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi,
Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar
beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Dalam
Surah al-Hajj, 17
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang
Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan
orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari
kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Meskipun
ulama lain memandang ayat 62 surah al-Baqarah dan ayat 69 surah al-Ma’idah
hanya berlaku bagi penganut agama
Yahudi, Kristen dan penganut sha’ibin pada masa Rasulullah, yaitu
penganut agama tersebut yang masih menganut agama aslinya, tetapi bagi Ayoub
ayat tersebut di atas diberlakukan secara universal.[46]
Dengan demikian, kecenderungan konvergensi agama seperti yang ditempuh oleh
Smith juga sudah mulai terdapat di kalangan pemikir Islam kontemporer.
Kesimpulan
Dari uraian
yang lalu dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Studi Islam di Barat sampai saat ini semakin
mengalami perkembangan. Dalam studi
Islam itu sarjana Barat meneliti dan menganalisis Islam menurut tradisi ilmiah
mereka. Hasilnya kadang-kadang positif
dan kadang-kadang negatif sesuai dengan metodik yang mereka gunakan. Dalam penyelidikan mereka tentang Islam
seringkali lebih melihat realitas umat Islam kemudian diidentikkan dengan Islam
itu sendiri.
2.
Orang-orang Barat menaruh perhatian besar
terhadap Islam dan umatnya, sejak abad pertengahan hingga kini. Di awal abad
ke-11 hubungan Islam dengan Kristen Barat mengalami konflik akibat pengaruh
perang salib, sehingga memberi pengaruh negatif bangsa Barat dalam
mepersepsikan Islam. Tetapi ketika
kerajaan Turki terutama pada masa Sultan Mahmud II yang mengem-bangkan politik
toleransi, maka persepsi Barat terhadap Islam cenderung positif. Di abad-19 hubungan bangsa Barat dengan umat
Islam kembali negatif karena semakin gencarnya imperialisme Barat menekan umat Islam. Sampai pertengahan abad ke-20 Sarjana Barat
menerapkan pendekatan ilmiah (saintifik) terhadap Islam. Islam seluruhnya ditempatkan sebagai fenomena
historik-empirik sehingga memberikan
konklusi bahwa Islam adalah agama ciptaan dan hasil pengalaman historis
Muhammad. Pandangan demikian sampai kini
masih berlanjut. Tetapi bagi sarjana
Barat yang menggunakan pendekatan fenomenologis cenderung positif karena
pendekatan fenomenologis melihat realitas apa adanya tanpa dilatari dengan
perspektif Kristen Barat.
- Pendekatan teologi dalam studi Islam dapat dibedakan atas: Pendekatan teologi apologis, teologi dialogis dan teologi konvergensi. Pendekatan teologi apologis cenderung negatif karena meneliti Islam dengan perspektif Kristen. Islam dinilai dan dianalisis untuk mengetahui kelemahannya menurut mereka dalam rangka memperkokoh agama (Kristen)nya sendiri. Pende-katan teologi dialogis nampak positif, karena menilai Islam sebagai agama yang mengandung kebenaran dan memberikan keselamatan kepada penganutnya. Dengan perspektif demikian, Islam di mata Barat dapat berdialog secara konstruktif dengan Islam sebagai agama yang keduanya dapat membawa umatnya kepada saling pengertian. Pendekatan teologi konvergensi, masih menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan intelektual muslim.
KEPUSTAKAAN
Adams, Charles J. “Quran” dalam Mircea Eliade
(ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol 12, 1987.
Adams, David Stow. “Theology”, dalam James Hastings (ed.), Encyclopedia
of Religion and Ethics, Vol. 12, t.th.
Ayoub, Mahmoud. “Nearest in Amity”,
Makalah, 1999.
Christian W.Troll,
S.J. “Dialogue Between Islam and Christianity: W. Montgomery Watt
Contribution”, dalam Vidyajyoti: Journal of Theological Reflection, Vol.
XLIX, Jaunuari-Desember 1985.
Gordon E. Pruett,
“Duncan Black McDonald: Christian Islamicist”, dalam Asaf Hussein et al (eds.),
Orientalism, Islam and Islamists. Brattleboro,
Vermont: Amana Books, 1984.
Hans Kung, “A
Christian Response”, dalam Christianity and the World Religions Paths of
Dialogue with Islam, Hinduism and Buddhism. New
York: Doubleday and Company Inc., 1986.
Hans Kung, “Christian
Response”, dalam Christianity and the World Religions: Parth of
Dialogue with Islam, Hinduism and Buddism, New York: Doubleday &
Company Inc., 1986.
Hill O.P. William J. “Theology”, dalam Joseph A. Komonchak et. al.,
(eds.), The New Dictionary of Theology (Goldenbridge, Dublin: Gill and
Macmillan, Ltd. 1974.
Kitagawa, Joseph, M. “The History of Religions in America”, dalam
Mircea Eliade dan Joseph M. Kitagawa (eds.), The History of Religions: Essay
on the Problem of Understanding. Chicago
and London: The University of Chicago Press, 1967.
Leinhardt, R.G, “Theology”, dalam David L. Sills (ed.) International
Encyclopedia of the Social Sciences, Vol. 15, 1972.
McDonald, Duncan Black. Immortality in Islam”, dalam E. Hershey Sneath (ed.), Religion and the
Future Life. New York: Fleming H. Revell Company, 1922.
McDonald, Duncan
Black .Aspects of Islam. Freeport, New York: Books for Libraries Press, 1971.
McDonald, Duncan
Black. “Doctrine of Revelation in Islam”, dalam The
Muslim World, No. 7 , 1917.
McDonald, Duncan
Black. Development of Muslim Theology,
Jurisprudence and Constitutional Theory. New York: Charles Scribner’s Sons, 1903.
McDonald, Duncan Black. The Religious Attitude and Life of Islam. New York: AMS Press, 1970.
Philip C. Almond,
“Wilfred Cantwell Smith as Theologian of Religions”, dalam Harvard
Theological Review, No. 76, 1983.
Smith, Huston. “A Theological Voyage with Wilfred Canwell
Smith”, dalam Religious Studies Review, Vo. 7, No. 4, 1981.
Smith, Huston. “Faith and Its Study: What Wilfred Cantwell Smith’s
Againts, and for” dalam Religious Studies
Review, Vol. 7, No. 4, Oktober 1981.
Smith, Wilfred
Canwell. On Understanding Islam, New York: Hague,
1981.
Smith, Wilfred
Canwell. Religious Diversity, New York; Harper
& Row Publishers, 1978.
Southern, R.W. Western View of Islam in the Middle Ages. Harvard University Press, 1962.
Vahiduddin, Syed. “Islam and the Diversity of Religion”, dalam Islam
& Christian-Muslim Relation, Vol. 1 No. 1 Juni 1990.
Vergilis Ferm. “Theology”, dalam Dagobert D. Runes (ed.), Dictionary
of Philosophy. Totowa, New Jersey: Littlefield Adams &
Co., 1979.
Wach, Joachim. “Introduction; The Meaning and Task of the History of
Religion Religionswissenschaft)”, dalam Mircea Eliade dan Joseph M.
Kitagawa (eds.), The History of
Religions: Essay on the Problem of Understanding. Chicago and London: The University of Chicago Press,
1967.
Wainwright, William J. “Wilfred Cantwell Smith on Faith and
Belief”, dalam Religious Studies, No. 20, 1984.
Watt, W. Montgomery . “Toward a World Religion” dalam The Islamic
Literatuure, Vol. VIII, No. 5-6, Mei-Juni 1956.
Watt, W. Montgomery
“The Problems Before Islam Today”, dalam The Islamic Literature ,Vol. V,
No. 10 Oktober 1953.
Watt, W. Montgomery “Thouhgts on Muslim-Christian
Dialogue”, dalam Hamdard Islamicus, Vol. I, No, I 1978,
[1] Vergilis Ferm, “Theology”, dalam Dagobert
D. Runes (ed.), Dictionary of Philosophy (Totowa, New Jersey:
Littlefield Adams & Co., 1979), h. 317.
[2] R.G. Leinhardt, “Theology”, dalam David L.
Sills (ed.) International Encyclopedia of the Social Sciences, Vol. 15,
1972, h. 604.
Dalam pengertian tersebut di
atas, biasanya juga digunakan di kalangan orang Yunani dalam menggambarkan
karya sastra, seperti: Karya Homer dan Heiod ketika menulis tentang dewa-dewa
dan perbuatan-perbuatannya. Di kalangan
filosof seperti: Plato dan Aristoteles, istilah
ini digunakan ketika mereka menspekulasikan tentang Realitas Tertinggi atau Realitas Mutlak sebagai landasan segala sesuatu. (Lihat David Stow Adams, “Theology”, dalam James
Hastings (ed.), Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. 12, t.th., h.
293).
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid., h. 294.
[6] William J. Hill O.P., “Theology”, dalam
Joseph A. Komonchak et. al., (eds.), The New Dictionary of Theology
(Goldenbridge, Dublin: Gill and Macmillan, Ltd., 1987), h. 1015.
[7] Adams, op. cit., h. 296.
[8] Joachim Wach, The Comparative Study of
Religion (
[9] Joachim Wach, “Introduction; The Meaning
and Task of the History of Religion Religionswissenschaft)”, dalam Mircea
Eliade dan Joseph M. Kitagawa (eds.), The
History of Religions: Essay on the Problem of Understanding (Chicago and
London: The University of Chicago Press, 1967), h. 1.
[10]Joseph M. Kitagawa, “The History of
Religions in America”, dalam Mircea Eliade dan Joseph M. Kitagawa (eds.), The
History of Religions: Essay on the Problem of Understanding (Chicago and
London: The University of Chicago Press, 1967), h. 18.
[11]Gordon E. Pruett, “Duncan Black McDonald:
Christian Islamicist”, dalam Asaf Hussein et al (eds.), Orientalism, Islam
and Islamists (Brattleboro, Vermont: Amana Books, 1984), h. 125.
[12] Duncan Black McDonald, Immortality in
Islam”, dalam E. Hershey Sneath (ed.), Religion
and the Future Life (New York: Fleming H. Revell Company, 1922), h. 299.
[13] Pruett, op. cit., h. 134.
[14] Duncan Black McDonald, Aspects of Islam
(Freeport, New York: Books for Libraries Press, 1971), h. 55-56.
[15] Duncan Black McDonald, Development of
Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory (New York: Charles
Scribner’s Sons, 1903), h. 150.
[16] Duncan Black McDonald, The Religious
Attitude and Life of Islam (New York: AMS Press, 1970), h. 6-7.
[17] Duncan Black McDonald, “Doctrine of
Revelation in Islam”, dalam The Muslim World, No. 7 , 1917, h. 116-117.
[18] Hans Kung, “A Christian Response”, dalam Christianity
and the World Religions Paths of Dialogue with Islam, Hinduism and Buddhism
(New York: Doubleday and Company Inc., 1986), h. 22.
[19] Ibid., h. 23.
[20] Ibid., h. 23.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] W. Montgomery Watt, “The Problems Before
Islam Today”, dalam The Islamic Literature ,Vol. V, No. 10 Oktober
19953, h. 35.
[24] W.Montgomery Watt, “Toward a World
Religion” dalam The Islamic Literatuure, Vol. VIII, No. 5-6, Mei-Juni
19956, h. 317.
[25] W.Montgomery Watt, “Thouhgts on Muslim-Christian
Dialogue”, dalam Hamdard Islamicus, Vol. I, No, I 1978, H. 8.
[26] Christian W.Troll, S.J. “Dialogue Between
Islam and Christianity: W. Montgomery Watt Contribution”, dalam Vidyajyoti: Journal
of Theological Reflection, Vol. XLIX, Jaunuari-Desember 1985), h. 36.
[27] Lihat R.W. Southern, Western View of
Islam in the Middle Ages (Harvard University Press, 1962), h. 22.
[28] Hans Kung, “Christian Response”, dalam Christianity and the World Religions: Parth of Dialogue with
Islam, Hinduism and Buddism, New York: Doubleday & Company Inc., 1986,
h. 25-26.
[29] Ibid., h. 26-27.
[30] Lihat ibid., h. 27-28.
[31] Ibid., h. 30.
[32] Ibid.
[33] Lihat Philip C. Almond, “Wilfred Cantwell
Smith as Theologian of Religions”, dalam Harvard Theological Review, No.
76, 1983, h. 335.
[34] Lihat William J. Wainwright, “Wilfred
Cantwell Smith on Faith and Belief”, dalam Religious Studies, No. 20,
1984, h. 353.
[35] Wilfred Canwell Smith, Religious
Diversity, New York; Harper & Row Publishers, 1978, 12-13.
[36]Huston Smith, “A Theological Voyage with Wilfred Canwell
Smith”, dalam Religious Studies Review, Vo. 7, No. 4, 1981, h. 299.
[38] Ibid., h. 300.
[39] Ibid.
[40] Wilfred Canwell Smith, On Understanding
Islam, New York: Hague, 1981.h. 277.
[41] Wainwright, op. cit., h. 356.
[42] Smith, On Understanding Islam, h.
265.
[43] Lihat Huston Smith, “Faith and Its Study:
What Wilfred Cantwell Smith’s Againts, and for” dalam Religious Studies Review, Vol. 7, No. 4, Oktober 1981, h.
309.
[44] Charles J. Adams, “Quran” dalam Mircea
Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol 12, 1987, h. 158.
[45] Syed Vahiduddin, “Islam and the Diversity
of Religion”, dalam Islam & Christian-Muslim Relation, Vol. 1 No. 1
Juni 1990, h. 10.
[46] Lihat Mahmoud Ayoub, Nearest in Amity,
Makalah, 1999, h. 24.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar