Sabtu, 02 Maret 2019

PENDEKATAN TEOLOGIS ORIENTALIS DALAM STUDI ISLAM


 



 

PENDEKATAN TEOLOGIS ORIENTALIS

DALAM STUDI ISLAM


Oleh: Moh. Natsir Mahmud


A. Sekelumit Tentang Pendekatan Teologis

            Teologis (berasal dari bahasa Yunani: theos = Tuhan dan logos = ilmu), adalah ilmu yang  mempelajari tentang  Tuhan dan hubungan Tuhan dengan realitas dunia.[1]  Dalam pengertian klasik, segala pembicaraan  mengenai Tuhan disebut teologi.  Persoalan pokok dalam teologi adalah menyangkut sifat/hakikat Tuhan dalam kaitannya dengan pengalaman manusia.[2]
            Teologi juga merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mememuhi kriteria saintifik.  Apa yang  disebut saintifik adalah menggunakan akal dengan kekuatan analisisnya, generalisasinya serta  hukum-hukum penarikan kesimpulan, induksi, deduksi terhadap data pengalaman.  Dalam cara ini dapat ditemukan hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang mendasari dan mengaitkan fakta dan fenomena yang disajikan serta menyatukan seluruh isi pengalaman ke dalam satu sistem yang koheren secara keseluruhan.  Dengan cara itu dapat digambarkan sebagai pengetahuan mengenai realitas[3]. Teologi menurut D.S. Adam memenuhi kriteria  tersebut dengan menganalisis dan mensistematisasikan fakta-fakta dan pengalaman manusia yang beragam dalam hubungannya dengan  Tuhannya.[4]
            Akan tetapi ada faktor yang membedakan secara mendasar antara teologi dengan ilmu pengetahuan lainnya, yaitu teologi mendasarkan diri pada wahyu dan/atau doktrin-doktrin keagamaan, sedangkan ilmu pengetahuan lain, akal dan  indera merupakan sumber epistemologinya.  Namun demikian, teologi juga menggunakan akal, tetapi fungsi akal sebagai instrumen untuk dapat menangkap, menganalisis dan mensistematisasikan apa yang diperoleh melalui wahyu.[5] Dengan demikian, teologi menurut Hill bukan iman atau kepercayaan, tetapi argumentasi pemikiran manusia untuk mendukung keimanannya.[6]  Sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan agama, teologi menurut Lonergan menggunakan metode transenden  yang terjadi dalam empat tahap yaitu: Mengalami, memahami, menilai dan memutuskan.  Pengalaman merupakan data keagamaan, pemahaman berarti menghayati makna-makna, penilaian adalah mencari atau mengukuhkan kebenaran dan putusan adalah pengakuan (komitmen) terhadap nilai.  Komitmen pada nilai (agama) diterima sebagai suatu norma yang  perlu dipertahankan.
            Agama sebagai obyek penelitian mempunyai dua aspek, yaitu aspek historis dan aspek normatif.  Aspek historis menjadi obyek penelitian sejarah agama dan fenomenologi historis, sedangkan aspek normatif muncul sebagai kekuatan batin yang memberikan  pengakuan akan “kebenaran” untuk mengatur kehidupan individu dan sosial.[7]  Aspek normatif tersebut merupakan tugas teologi.  Joachim Wach menjelaskan bahwa tugas utama teologi adalah untuk meneliti, memperkuat dan mengajarkan keimanan dalam suatu komunitas keagamaan serta mengobarkan semangat dan gairan untuk mempertahankan dan menyebarluaskan keimanan.[8] Di tempat lain, Wach menjelaskan: “Theology has its own task in identifiying its own confessinal norms, and none may take this task from it.  Theology is concern with understanding and conforming its own faith”.[9] (Teologi mempunyai tugasnya sendiri untuk mengidentifikasikan norma-norma yang menjadi pengakuannya, tidak ada yang mungkin mengambil alih tugas itu. Teologi cenderung pada pemahaman dan memenuhi keimanannya).
            Karena teologi berpijak pada norma keagamaan untuk mengukuhkan keimanan dan membangkitkan semangat dan gairah beragama, maka teologi seperti halnya etika termasuk ilmu normatif.[10]
            Usaha memperkokoh keyakinan  agama dalam teologi kadang-kadang mengambil sikap apologis, yakni seseorang yang menggunakan pendekatan teologi dalam membahas agama lain, menyerang keyakinan agama lain untuk  memperkokoh keyakinan agama penulis itu.
            Akan tetapi tidak semua pendekatan teologi bersifat apologis.  Ada pendekatan teologi yang bertujuan dialogis dan ada yang bersifat teologi konvergensi.  Teologi dialogis mengkaji agama-agama dengan berupaya mencari perbedaan-perbedaan pandangan dan diktrin keagama masing-masing  agama, tetapi di sisi lain juga  melihat kesesuaian-kesesuaian yang memungkinkan terjadi saling mengakui masing-masing.  Pendekatan yang  bersifat teologi konvergensi, tidak lagi melihat perbedaan-perbedaan  dalam doktrin agama-agama tetapi melihat intisari agama-agama yang memiliki kesamaan masing-masing.
            Dalam penelitian ini akan dikaji ketiga macam pendekatan teologi tersebut.

B. Beberapa Corak Pendekatan Teologis

            Berikut ini dikemukakan beberapa corak pendekatan teologis yang digunakan oleh para orientalis dalam studi Islam, sebagai berikut:

1. Pendekatan Teologi Apologis
            Pendekatan teologi apologis, antara lain dikemukakan pandangan Duncan Black McDonald terhadap Islam.  McDonald berasal dari Glasgow, Inggeris.  Karir akademiknya mulai tahun 1892 - 1925 di Hartford Theological Seminary, secara khusus mengambil spesialisasi di bidang misionaris.  Ia menjadi konsultan dan Guru Besar di bidang Muhammadanisme (studi Islam) sampai masa wafatnya di tahun 1943.  Ia menulis lima buah buku, tiga buku tentang Islam dan dua lainnya tentang agama Yahudi.  Ia juga banyak menulis artikel di berbagai jurnal, misalnya The Muslim World dan tulisan entri bi berbagai ensiklopedia.
            Dengan menggunakan pendekatan teologi apologis, McDonald memandang Islam sebagai agama yang gagal.  Gordon E. Pruett mengomentari pandangan McDonald tersebut sebagai berikut:

The failure of Islamic prophecy required a Christian responce, the  missionary effort.  This effort was not to be merely humanitarian -- though it certainly was to be that -- but also theological and evangelical.  McDonald believed that Muslims are  imperiled in  the modern world  ( a  situation  not solely of their own making);  Christianity -- and Christian  civilization sweetened by the Gospel -- could  save them.  The missionary effort was the  effective arm of Christian theology and the proper response of Christians to the failure of Islam).[11]

(Kegagalan kenabian Islam memerlukan respons Kristen, yakni upaya-upaya misionaris, upaya tersebut bukan hanya demi kemanusiaan -- meskipun memang juga demikian adanya -- tetapi juga memerlukan upaya teologis dan pekabaran Injil. McDonald percaya bahwa umat Islam membahayakan dunia modern,  -- dan  peradaban Kristen yang  dihiasi oleh Injil -- maka hanya Kristen yang  dapat menyelamatkan mereka.  Usaha missionaris adalah senjata yang efektif dari teologi Kristen dan respons Kristen lebih tepat untuk mengatasi kegagalan Islam).

            Tentang eksistensi Islam, McDonald berpendapat  bahwa Islam pada mulanya adalah ajaran Kristen yang  diselewengkan (heresy) oleh keadaan  patologis (penyakit jiwa) Muhammad (“Islam is in  fact a kind of Christian heresy proclaimed by  a pathological case”).[12]
            Menurut McDonald, Islam adalah bagian dari pikiran ketimuran.  Karakteristik pemikiran ketimuran menurut-nya ada dua yaitu:
1.    Pikiran ketimuran sedikit menghargai fakta dan diikuti oleh pantasi yang  bebas tetapi di sisi lain terkungkung.
2.    Pikiran ketimuran tidak menghargai kebebasan berpikir dan kebebasan intelektual.
            Pandangan McDonald tersebut menggabungkan antara pendekatan teologis dengan bias rasial.  Menurutnya, bangsa Barat memahami kehidupan keagamaan Islam dalam dua hal:
1.    Inability to see life steadily, and see it whole, to understand that a theory of life must cover all the facts.
2.    Liability to be stampeded by single idea and blinded to everything else --- therein, I believe, is the difference between the East and the West.[13]

(1. Ketidak mampuan melihat kehidupan dengan cara yang bermanfaat, serta tidak mempu melihat secara menyeluruh, untuk dapat memahami bahwa sebuah teori tentang kehidupan harus mencakup seluruh fakta.
2. Kecondongan untuk terperangkap oleh idea tunggal dan buta terhadap sesuatu yang lain --- dalam hal ini saya percaya bahwa itu merupakan perbedaan antara Timur dan Barat).

            Mengenai pandangannya tentang Nabi Muhammad, McDonald memandang Nabi Muhammad adalah orang yang tidak tercerahkan oleh roh kudus sehingga tindakannya  jauh dari kebenaran.  Dalam kaitannya dengan peroleh wahyu, McDonald menggambarkan Nabi Muhammad sebagai berikut:
... there is another source which is open to us and which, with one exception [the individual is not named, although it is probably either Ibn Khaldun or al-Ghazali] has been entirely neglected by Muslims.  It is the study of the parallels which appear in the case of what we call now a days trance-mediums; the phenomena exhibited by those mediums who enter a trance, speak in that trance, and give signs in one way or another while in a hypnotic state.  In such cases, I have no  question, is really to be found the clue to Muhammad.[14]

(... ada sumber lain yang terbuka bagi kita, dan dengan suatu kekecualian [secara pribadi tidak diketahui namanya, sungguhpun bukan Ibnu Khaldun dan bukan pula al-Ghazali] yang ditolak sama sekali oleh orang Islam.  Penyelidikan itu selaras yang nampak dalam suatu kasus dari apa yang kita sebut sekarang ini dengan masa-masa tak sadar diri [trance-mediums]; fenomena yang diperlihatkan oleh medium itu orang memasuki keadaan tak sadar, berbicara dalam kondisi tak sadar dan memberikan tanda-tanda dalam satu atau lain cara bila ada dalam suatu situasi hipnotis.  Dalam hal seperti ini saya tidak mempersoalkan, adalah benar-benar didasarkan atas renungan Muhammad).

            Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa menurut McDonald, Nabi Muhammad menerima wahyu dalam situasi trance-medium atau semacam kesurupan.  McDonald mau mendasarkan pandangannya pada pendapat seorang muslim tetapi tidak diketahui siapa tokoh Islam yang berpandangan seperti itu.
            McDonald memandang Nabi Muhammad adalah seorang  ahli sastra yang tidak tersaingi.  Kemampuan sastranya yang tinggi, sehingga  ia mampu menciptakan karya sastra seperti al-Qur’an.[15]  Karena itu apa yang  disebut wahyu al-Qur’an adalah produk pikiran Muhammad. Muhammad mereproduksi wahyu  tidak lepas dari suasana psikologis yang mengalami kasus patologis.[16]  Dalam suasana patologis itu, Muhammad berada dalam keadaan tak sadar diri (trance), sehingga merasa mendapatkan wahyu.  Untuk mencapai hal tersebut Muhammad hidup menyerupai kahin atau semacam tukang tenung (soothsayer).  Karena itu menurut McDonald, wahyu yang  diperoleh Muhammad melalui semacam pengalaman mistik.[17]
            Pandangan McDonald tersebut dengan sendirinya memandang al-Qur’an sebagai ciptaan Muhammad, bukan wahyu dari Allah.

2. Pendekatan Teologi Dialogis
            Hans Küng adalah seorang Islamolog Barat (dari Jerman) yang juga banyak mengkaji tentang Islam.  Dalam berbagai tulisannya ia menggunakan pendekatan teologis, yakni bertolak dari perspektif teologi Kristen dalam melihat Islam, tetapi perspektif teologis tersebut tidak digunakan untuk apologis melainkan  untuk dialog antara  Islam dan Kristen.
            Küng  menyajikan pandangan-pandangan teologi Kristen dalam melihat eksistensi Islam mulai dari  pandangan teologis yang intoleran  sampai pada  pandangan yang toleran, yang saling  mengakui eksistensi masing-masing agama.  Tujuan Küng adalah untuk menciptakan mutual-understanding antara kedua agama, tetapi dengan tidak mendasarkan diri pada konsep konvergensi agama yang berakar pada filsafat perenialisme.
            Sebelum memasuki pandangan teologis, Küng memberikan gambaran umum tentang Islam, sebagai berikut:

All too often, Christian ...  still look upon Islam as a vast monolith, a closed religious system, rather than as a living religion, a religious movement that has experienced constant change over the centuries and has acquired a high degree of inner diversity, a faith shared be concrete men and women with a broad spectrum of attitudes and feelings.  The task for today is slowly to understand from within why Muslims look upon God and the world, the worship of God and the service of man, politics, law, and art thorough different eyes and a different  sensibility than do, for example, Christians.  Nad the first thing which  must be understood is that for Muslims, even today, Islam as a religion is not just another compartment of life, or what secular-minded people  like to  call “ the religious factor”, alongside other “cultural factors”.  On the Contrary, here we find life  and religion , religion and culture woven into the living web.  Islam wishes to be an all-embracing view of life, an all-involving attitude toward life a way to eternal life: a way of salvation. Salvation? what can a  Christian theologian respond to this claim?[18]

(Hampir semua orang Kristen … masih melihat Islam sebagai agama monolitik, sebuah sistem keagamaan yang terbuka, lebih dari sekedar agama kehidupan, sebuah gerakan keagamaan yang mengalami terus menerus perubahan selama berabad-abad dan menghendaki keanekaan yang lebih dalam tingkat yang tinggi, sebuah agama yang memandang  sama pria dan wanita secara konkrit dengan sebuah  spektrum yang luas mengenai sikap dan perasaan.  Usaha dewasa ini adalah pemahaman yang  lamban dari dalam.  Bagaimana orang Islam memandang Tuhan dan dunia, menyembah Tuhan dan pelayanan manusia di bidang politik, hukum dan seni melalui pengamatan yang berbeda dan sensibilitas yang berbeda dengan misalnya, pandangan orang Kristen.  Dan hal yang pertama yang harus dipahami adalah, sekarang ini, bagi orang Islam, bahwa Islam sebagai bukan hanya bagian kehidupan atau apa yang orang-orang berpikiran sekuler menyebut “faktor keagamaan” yang berdampingan dengan “ faktor budaya”.  Sebagai kebalikannya, di sini [dalam Islam] kita menemukan  kehidupan dan agama, agama dan budaya teranyam ke dalam sebuah jaringan kehidupan.  Islam menghendaki pandangan yang menyeluruh tentang kehidupan, sebuah determinasi menyeluruh tentang pandangan hidup -- dan dengan demikian, di tengah-tengah kehidupan temporal ini, suatu jalan untuk kehidupan yang abdi, yaitu jalan keselamatan. Keselamatan? Apakah teologi Kristen menghargai pengakuan seperti itu?)

            Pertanyaan teologis yang  diajukan Küng tersebut, yakni Apakah Islam merupakan jalan keselamatan?  Pertanyaan ini menjadi titik tolak untuk melihat apakah Islam sebuah agama yang menyelamatkan penganutnya bila dilihat dari segi  teologi Kristen.  Küng mengemukakan pandangan teolog Kristen seperti Origen, Cyprian dan Agustinus yang mengeluarkan pernyataan yang terkenal dengan:  Extra Ecclesiam nulla sulus, artinya tidak ada keselamatan di luar gereja[19].  Konsili Florence  di tahun 1442 mengeluarkan sebuah deklarasi yang menyatakan:

The holy Roman Church ... firmly believes, confesses, and proclaims that outside the Catholic church no one, neither heathen nor Jew nor unbeliever nor sehiematic will have a share in eternal life, but will rather, be subject to the everlasting fire which has been prepared for the devil and his angels, unless he attaches himself to her (the catholic church) before his death.[20]

(Gereja suci Roma … dengan tegas percaya, mengakui dan menyatakan bahwa di luar gereja Katolik tidak ada orang, baik penyembah berhala, tidak pula bagi orang Yahudi, orang kafir maupun orang yang membuat perpecahan  yang akan memperoleh kehidupan yang abadi, melainkan mereka menjadi orang yang bakal mendapat siksa yang kekal, yang memang telah dipersiapkan bagi orang yang berdosa  beserta malaikatnya, kecuali ia memasuki [gereja Katolik] sebelum matinya).

            Menurut Kung sampai tahun 1952 nada seperti tersebut di atas kembali lagi diungkapkan dalam sebuah kongregasi agama.  Seorang pastor Katolik dari Harvard, Romo Leonard Feeney kembali menegaskan bahwa orang yang berada di luar gereja Katolik adalah orang yang terkutuk.[21]  Akan tetapi dalam konstitusi geraja tahun 1965) mengelurkan sebuah deklarasi sebagai berikut:

Men and Women who through no  fault of their own do not know the Gospel of Christ and his church, but who sincerely search for God and who strive search for God and who strive to do his will, as revealed by the dictates of conscience, in deeds performed under the influence on his grace, can win eternal salvation.

(Laki-laki dan perempuan yang terus menerus tidak berbuat salah, menurut pandangannya sendiri, tidak memahami Kristus dan gereja, namun mereka dengan sungguh-sungguh berusaha mencari Tuhan dan berusaha keras melaksanakan apa yang menjadi hasratnya sebagaimana yang diinspirasikan oleh panggilan alam bawah sadarnya di dalam perbuatan  yang dilakukan di bawah pengaruh maksud baiknya, mereka akan bisa meraih keselamatan yang abadi.)

            Dari kutipan di atas berarti bahwa orang yang diluar gereja, meskipun tidak menganut sesuatu agama apapun, tetapi mereka tetap berbuat baik sesuai panggilan hati nuraninya yang bijak, maka mereka dapat meraih keselamatan.
            Khusus pandangan Katolik terhadap Islam dinyatakan juga dalam sebuah konstitusi Gereja (1965) dinyatakan bahwa:

God’s saving will also embrances those who acknowledge the Creator, and among them especially the Muslems, who profess the faith of Abraham and together with us adore the one God, the Marciful one, who will judge men on the last day.[22]

(Penyelamatan Tuhan juga diberikan kepada orang yang mengakui adanya pencipta (Tuhan) dan di antara mereka khususnya orang yang beragama Islam, yakni umat yang mengakui {agama} Ibrahim dan bersama-sama dengan kita memuja satu Tuhan, Tuhan yang Maha Pengasih dan mengadili manusia di hari kemudian).

            Penjelasan Kung tersebut di atas menunjukkan bahwa terdapat perkembangan presepsi teologis Kristen khususnya Katolik terhadap Islam, mulai dari penolakan sebagai agama yang membawa keselamatan (1952) sampai adanya pengakuan bahwa Islam sebagai agama yang menyelamatkan umatnya (1965).  Dalam posisi seperti itu, agama Katolik memberikan pengakuan  teologis terhadap Islam sehingga Islam sehingga dapat terjadi dialog yang konstruktif antara kedua agama.
            William Montgomery Watt lahir di Edinburg, Skotlandia tahun 1909.  Salah satu bagian penting dalam pandangan watt adalah dialog intereligius . Dalam masalah ini, Watt ingin menjalin saling pengertian antar pemeluk agama. Dasar pemikiran watt, adalah dia melihat dunia sekarang ini menuju ke “dunia yang satu”.[23] Dia melihat, bahwa potensi yang kuat untuk membawa ke situasi yang harmonis adalah melalui agama. Karena itu adalah mungkin terjadi semacam keharmonisan agama-agama.[24]
            Dialog intereligius dalam konsep Watt, dikhususkan pada hubungan antara Islam dan Kristen termasuk juga Yahudi. Menurut Watt, masing-masing agama itu memiliki daya  “pertahanan “ dan -- kecuali agama Yahudi dan Hindu --  masing-masing agama mengklaim diri sebagai agama universal ditujukan kepada semua umat manusia.[25]
            Hakikat dialog manurut Watt, Sebagai upaya untuk saling mengubah pandangan antar penganut agama dan saling terbuka dalam belajar satu sama lain. Dalam hal ini Watt bermaksud menghilangkan sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama yang lain serta menghilangkan ajaran yang bersifat apologis dari masing-masing agama. C.W. Troll mengomentari penjelasan Watt tersebut dalam tiga hal: (1) Masing-masing penganut agama saling mengakui bahwa mereka adalah pengikut Tuhan yang beriman, (2) sebagai konsekuensi dari yang pertama, perlu merevisi doktrin masing-masing agama untuk bisa membawa pada keimanan kepada Tuhan secara damai, (3)Melakukan kritik-kritik dan menghasilkan visi yang baru yang bisa terjadi keharmonisan.[26]
            Watt berusaha melakukan reinterpretasi terhadap ajaran agama yang mengandung nada apologis terhadap agama lain. Watt dalam hal ini secara khusus melihat doktrin Islam yang bernada apologis terhadap agama Yahudi dan Kristen.  Sebaliknya dia tidak mengemukakan doktrin-doktrin Yahudi dan Kristen yang bernada apologis terhadap Islam.  Hal ini cukup dimaklumi karena agama Yahudi dan Kristen lebih dahulu muncul dari pada Islam.  Islam adalah agama Semetik Abrahamik yang paling terakhir muncul.  Karena itu bila dalam kitab suci Islam banyak memberikan kritikan terhadap kedua agama itu sebelumnya, adalah karena Islam muncul kemudian. Hanya generasi kemudian yang melakukan kritikan terhadap generasi yang lalu.  Generasi yang lalu sulit melakukan kritikan terhadap generasi akan datang karena belum ada.  Bila ada kritikan, lebih bersifat ramalan atau perkiraan ke masa depan.  Karena itu, sejumlah penafsir Bibel memandang ada ayat dalam Bibel yang mengandung kritikan secara tak langsung kepada Islam, yang sifatnya ramalan.  Dalam kitab Daniel 7:23-25 dinyatakan bahwa di masa akan datang akan muncul empat binatang, yakni empat kerajaan.  Raja yang terakhir akan mengalahkan tiga raja lainnya.  Raja yang keempat itu akan melawan Allah dan berusaha mengubah hukum Allah dan pesta agama.  Menurut Sauthern, Alvarus seorang penafsir Bibel mengartikan raja yang keempat itu dengan Islam.[27]  Umat Kristen kini juga banyak melakukan kritikan terhadap Islam, tetapi kritikan itu adalah hasil interpretasi terhadap ayat-ayat Bibel kemudian dilihat perbedaannya dengan doktrin Islam.  Perbedaan itu yang dibarengi dengan sikap ingin mengunggulkan doktrin Kristen kemudian dijadikan dasar untuk mengeritik ajaran Islam.  Tetapi dalam ajaran Islam, memang terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang secara langsung memberikan kritikan terhadap doktrin agama Yahudi dan Kristen.  Kritikan-kritikan langsung al-Qur’an tersebut yang ingin dinetralisir oleh Watt dengan melakukan penafsiran-penafsiran lain agar unsur kritikan al-Qur’an tidak nampak.  Dengan jalan demikian menurut Watt sebagai cara untuk menciptakan hubungan harmonis antara umat Islam dengan agama lain, khususnya terhadap Yahudi dan Kristen.
            Di sisi lain, Watt ingin mengubah persepsi negatif orang Kristen terhadap Islam, meskipun hanya dalam taraf tertentu. Watt mengakui kenabian Muhammad, Meskipun disetarafkan dengan Nabi-nabi dalam Perjanjian Lama. Dia juga mengakui Al-Quran sebagai firman Tuhan namun terdapat sejumlah kekeliruan di dalamnya. Kesamaan Islam dan Kristen menurut Watt adalah fungsi wahyu sebagai sarana komunikasi antara manusia dengan Tuhan. Watt juga mengubah pandangan sarjana Barat lainnya, khususnya Bell, Guru Watt yang memandang al-Quran yang ada sekarang tidak otentik lagi. Bagi Watt, al-Quran yang ada sekarang otentik, tidak pernah mengalami perubahan apa yang diterima dari Nabi.
            Pandangan Watt tentang dialog Interreligius berusaha menghilangkan nada kritikan al-Qur’an terhadap doktrin kristen. Maksud Watt adalah ingin menjalin keharmonisan untuk mewujudkan hubungan harmonis antara agama Islam dengan agama Kristen. Namun Watt juga kadang-kadang bias dalam interpretasinya.
            Dalam kaitannya dengan kenabian Muhammad, pendekatan teologi Barat juga mengakui Nabi Muhammad sebagai Nabi  yang disetarakan dengan nabi-nabi dalam Perjanjian Lama, yaitu nabi-nabi dari bangsa Israil.  Dalam hubungan ini Hans Kung menjelaskan:

1.      Like the prophets of Israel, Muhammad based his work not on any office given him by community (or its authority) but on a special, personal relationship with God.
2.      Like the prophets of Israel, Muhammad was a strong-willed character, who saw himself as wholly penetrated by his divine vocation, totally taken up by God’s claim on him, exclusively absorbed by his mission.
3.      Like  the prophets of Israel, Muhammad spoke out amid a religious and social crisis.  With his passionate piety and his revolutionary preaching, he stood up against the wealthy ruling class and the tradition of which it was the gardian.
4.      Like the prophets of Israel, Muhammad, who usually calls himself a “warner”, wished to be nothing but God’s mouthpiece and to proclaim God’s word, not his own.
5.      Like the prophets of Israel, Muhammad tirelessly glorified the one God, who tolerates no other gods before him and who is, at the same time, the kindly Creator and marciful Judge.
6.      Like the prophets of Israel, Muhammad insisted upon unconditional obedience, devotion and “submission” (the literal meaning of “islam”) to this one God.  He called for every kind of gratitude toward God and of generosity toward human being.
7.      Like the prophets of Israel, Muhammad linked his monotheism to a humanism, connecting faith in the one God and his judgement to the demand for social justice; judgement and redemption, threats against the unjust, who go to hell, and promises  to the just, who are gathered into God’s Paradise.[28]

Artinya:
  1. Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad mendasarkan pekerjaanya bukan sebagai tugas yang diberikan oleh masyarakat (atau berdasarkan otoritasnya sendiri) melainkan merupakan tugas istimewa, yakni sebagai hubungan pribadinya dengan Tuhan.
  2. Seperti halnya nabi-nabi Israel, Muhammad adalah seorang yang memiliki sifat berkeinginan-kuat, yang melihat dirinya dirasuki secara keseluruhan oleh tugas ketuhanan yang keseluruhannya diperatasnamakan sebagai pengakuan Tuhan atas dirinya.
  3. Seperti halnya nabi-nabi Israel, Muhammad berbicara di tengah-tengah krisis keagamaan dan sosial.  Dengan jiwa kesalehan yang mendalam dan dakwahnya yang revolusioner, ia bangkit melawan kelompok penguasa kaya serta melawan tradisi yang menjadi pedoman.
  4. Seperti halnya nabi-nabi Israel, Muhammad senantiasa menyebut dirinya sebagai “pemberi ingat” yang menghendaki tiada lain selain dia sebagai juru bicara Tuhan dan menyampaikan firman Tuhan, bukan dari dirinya.
  5. Seperti halnya nabi-nabi Israel, Muhammad terus menerus mengumandangkan keesaan Tuhan, ia mentolerir tiada Tuhan selain dia dan dalam waktu yang sama, (Tuhan Yang Esa) adalah Pencipta yang Bijaksana serta Hakim yang pengampun.
  6. Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad menekankan kepatuhan yang mutlak, ketaatan, dan “kepatuhan” (yang menjadi makna harfiah dari kata “Islam”) kepada Tuhan yang satu.  Ia mengajak kepada setiap orang tentang sifat berterima kasih kepada Tuhan dan tentang sifat kemurahan Tuhan kepada umat manusia.
  7. Seperti nabi-nabi Israel, Muhammad menghu-bungkan ajaran monoteismenya dengan paham humanisme, menghubungkan iman kepada Tuhan Yang Esa serta pembalasan-Nya dengan tuntutan keadilan sosial; hukuman dan pengampunan, ia perang melawan ketidak adilan yang bisa membawa ke neraka, dan menegakkan keadilan yang bisa membawa ke surga Tuhan.

Pandangan Kung tersebut di atas menempatkan kenabian Muhammad seperti halnya nabi-nabi dalam Perjanjian Lama (di kalangan bangsa Israel) seperti: Nabi Amos, Hosea, Isaiah dan Jeremiah.  Dalam perspektif teologi Kristen nabi-nabi tersebut lebih rendah derajatnya dibanding misalnya Paulus.  Kung melihat aspek lain dari missi Muhammad – meskipun seandainya ada yang menolak kenabiannya – di mana ajarannya dapat mengubah hidup manusia.  Dalam kenyataan sosiologis, nampak bahwa ajaran yang dibawa Muhammad mampu membentuk komunitas keagamaan, segingga sulit diabaikan begitu saja bahwa ia benar-benar membawa missi ketuhanan.  Dalam kaitan ini Kung menjelaskan:

1.      To this day nearly 800 million men and women living in the vast expanses from Marocco in the West to Bangladesh in the East, from steppes of Central Asia in the North to the island of Indonesia in the South, are all marked by the exacting power of a fith that, more than practically any other, has shaped its followers into a uniform type.
2.      All these people are bound together by a simple confession of faith (“… there is no God but God, and Muhammad is his prophet”), by five basic duties (professing the faith, prayer, almsgiving, a month of fasting, pilgrimage to Mecca), by an all-pervasive resignation to the will of God (suffering, too, is to be accepted as an immutable, divine decision).
3.      Among all these peoples there continues to be alive feeling for the fundamental equality of all human beings before God, and an international brotherhood that has managed to overcome barriers between the race (Arabs and non-Arabs).[29]            
Artinya:
  1. Sekarang ini hampir 800 juta penduduk pria dan wanita hidup dalam wilayah yang luas dari Maroko di Barat sampai ke Banglades di Timur.  Dari padang rumput Asia Tengah di Utara sampai ke kepulauan Indonesia di Selatan, semuanya ditandai oleh kekuatan dari sebuah agama yang tangguh lebih dari kekuatan praktis lainnya, telah membentuk pengikutnya dalam satu kesatuan bentuk.
  2. Seluruh penduduk diikat oleh sebuah pengakuan iman yang sederhana (yaitu: “ Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasulNya”), oleh lima kewajiban dasar (yaitu: Pengakuan iman {syahadah}, shalat, zakat, puasa Ramadhan dan berhaji ke Mekkah), oleh sebuah sikap pasrah secara mendalam pada kehendak Tuhan (penderitaan juga diterima sebagai ketetapan, yakni putusan Tuhan).
  3. Di antara semua penduduk ada kontinuitas pada sebuah perasaan hidup untuk kesamaan yang mendasar bagi seluruh umat manusia di hadapan Tuhan, dan sebuah persaudaraan internasional yang mengatur agar dapat diatasi rintangan-rintangan rasial (antara Arab dan non-Arab).
Dengan demikian, menurut Kung, Islam sudah menjadi kenyataan sebagai sebuah agama dengan doktrin-doktrinnya yang mengatur kehidupan penganutnya dalam sebuah komunitas keagamaan dengan komitmen yang mendalam dankepatuhan pada ajaran nabinya.
            Bila dilihat dari segi pengakuan kitab Perjanjian Baru, Kung melihat bahwa Perjanjian Baru menegaskan akan adanya nabi yang otentik sesudah masa Yesus.  Para pengikutnya mempercayainya dan mengikuti ajaranya, mereka menafsirkan dan menerjemahkan ajaran-ajarannya sesuai dengan era maupun situasi baru yang dihadapinya.[30]
            Dalam kaitannya dengan doktrin tentang wahyu, teologi Kristen mengakui dengan “pembenaran” terhadap wahyu di luar Kristen, sehingga wahyu dalam Islam pun mendapat “pembenaran” dari wahyu Kristen.  Dalam kaitan ini Kung menjelaskan:

And it should not be overlooked that alongside  such passages there are also more than a few positive statements about non Christian world, according to which  God originally manifested himself to all Humanity. Non-Christian, too, the Bible says, can come to know the true God; they can recognize what the biblical texts themselves understand to be God’s revelation through creation.[31]

Artinya:
Dan tidak dapat diabaikan bahwa ada  sejumlah ayat (dalam Bibel) yang mengandung statemen positif tentang dunia non-Kristen.  Menurut ayat tersebut, Tuhan memanifestasikan diri-Nya secara murni kepada semua umat manusia.  Bibel menyatakan bahwa orang non-Kristen juga dapat mengetahui Tuhan dengan benar, mereka dapat mengakui apa yang dipahami sendiri oleh Bibel terhadap adanya wahyu Tuhan melalui makhluk.
Dari penjelasan tersebut menunjukkan bahwa ada kebenaran wahyu lain selain yang terdapat dalam Bibel.  Selain Bibel ada wahyu yang  bisa memperkenalkan manusia akan Tuhannya, karena Tuhan dapat memanifestasikan dirinya tidak saja kepada umat Kristen tetapi kepada semua umat manusia.
            Karl Barth seorang teolog Kristen modern dalam berbagai karyanya menjelaskan adanya wahyu di luar Kristen. 
Even Karl Barth was compelled to admit in the last complete volume (IV/3) of his monumental Church Dogmatics (1958) that alongside the one “light” of Yesus Christ (which he had laid so much stress on all his life) there were other “lights” deserving of honor, that a longside the one word of God there were true words: “profane” words from non-Christian, who also spoke, in their own way, of God’s grace, forgivenees, reconciliation, and human faith, …[32]       
Artinya:
Karl Bart pun sendiri terpaksa mengakui pada bagian akhir bab (IV/3) dalam karya monumentalnya, Church Dogmatics (1958) yang berkenaan dengan kepercayaan pada satu “sinar” Yesus Kristus (yang mana ia begitu banyak tekankan dalam seluruh kehidupannya), bahwa ada “sinar” lain yang pantas mendapat penghormatan, bahwa sepanjang adanya satu firman tuhan, maka ada firman lain yang benar, yaitu firman yang “profan” dari dunia non-Kristen.  Firman tersebut juga berbicara dengan caranya sendiri, mengenai kasih sayang Tuhan, pengampun, perdamaian dan keimanan manusia, …

Penjelasan tersebut di atas menunjukkan adanya wahyu lain selain wahyu Bibel, namun wahyu Bibel dan wahyu-wahyu lainnya lebih rendah derajatnya dibanding wahyu dalam bentuk manusia yaitu wahyu diri Yesus Kristus sendiri.
            Dengan demikian teologi Kristen mengakui eksistensi agama lain selain Kristen, bahkan pengakuan tersebut adalah pengakuan esensial, bukan sekedar pengakuan eksistensial saja.   

3. Pendekatan Teologi Konvergensi

            Wilfred Cantwell Smith (lahir tahun 1916) dapat dikategorikan menggunakan pendekatan teologi konvergensi. Berbagai teolog Kristen lainnya bila mengkaji agama lain, mereka melihat agama lain itu didasarkan pada perspektif Kristus dan perpektif gereja.  Hasilnya bersifat apologis dan normatif karena perpektif Kristus dan gereja sebagai tolok ukur dalam melihat agama lain dan akan sulit berada pada posisi netral.
            Dalam mengkaji agama-agama lain Smith tidak bertolak dari perspektif Kristus dan gereja tetapi bertolak dari perspektif ketuhanan (teosentris) dalam melihat agama lain.[33] Smith melihat kecenderungan dunia masa depan menjadi konvergensi agama yang identik dengan pandangan filsafat perenialisme.  J.W. Wainwright menjelaskan bahwa: “ .... Smith’s central conviction and hope -- his belief that the world’s religions are potentially convergent”.[34] (... keyakinan dan harapan Smith -- adalah kepercayaannya bahwa agama-agama dunia potensial terjadi konvergensi).  Pandangan konvergensi ingin menyatukan unsur-unsur esensial dalam agama-agama, sehingga tidak nampak lagi perbedaannya yang esensial.  Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya dapat disatukan dalam satu konsep teologi universal dan umatnya disatukan dalam satu umat beragama.  Smith menghendaki agar penganut agama-agama dapat menyatu bukan hanya dalam dunia praktis tetapi juga dalam pandangan teologis.  Berkenaan dengan hal tersebut, Smith menjelaskan bahwa:

On the moral level, there follows an imperative towards reconciliation, unity, harmony, and brotherhood. At this level, all men are included: we strive to break down barriers to close up gulft we recognize all men as neighbours, as fellows as sons of the universal father, seeking Him and finding Him, being sought by Him and being found by Him.  At this level, we do not become truly Christian until we have reached out towards a community that turns mankind into one total “we”.[35]

(Pada level moral, adalah keharusan menuju rekonsiliasi, kesatuan, keharmonisan dan persaudaraan.  Pada level tersebut  semua orang tercakup [di dalamnya]: kita berupaya memecahkan rintangan, dan mendekatkan jurang pemisah.  Kita menyadari bahwa semua manusia seperti hidup bertetangga sebagai pengikut putra dari Bapa universal [Tuhan], dimana manusia mencariNya dan menemukanNya.  Mereka pun dicari olehNya dan menemukannya.  Pada tingkat demikian, kita bukan lagi benar-benar sebagai seorang Kristen hingga kita tergolong ke dalam sebuah komunitas yang mengarahkan umat manusia ke dalam totalitas [dengan menyatakan] “kita”).

            Pertanyaan yang timbul adalah di mana letak titik temu keyakinan agama-agama itu untuk mencapai sebuah konvergensi agama?  Smith terlabih dahulu membedakan antara faith dengan belief. 
Smith mengartikan faith dengan iman.  Faith is transcendent aspect of religius[36] (Faith adalah aspek transenden dalam agama). Dari aspek transenden itu, maka faith menghubungkan antara manusia dengan Tuhan,[37] yang merupakan sentral atau titik pusat agama-agama.[38]   Tanpa faith akan menimbulkan nihilisme dan bisa membawa disintegrasi pribadi manusia sehingga merusak keutuhan diri manusia.[39]
Namun demikian, faith tidak dapat dipisahkan dengan belief, tetapi secara substantif berbeda dengannya.  Belief tidak dapat diartikan dengan iman, melainkan pandangan, teori dan persepsi mengenai apa yang diimani.  Dalam kaitan ini Smith menjelaskan;

1.      The object of faith used to be a person (God and Christ in the Christian case: Muslims must remember that in Christian understanding God is personal); the object of believing has come to be an idea, a theory;
2.      The act of faith used to be a decision, the taking of a step, of cosmic self-commitment; the state of believing has come to be a descriptive, if not passive, condition.
3.      The mood of faith use to involve one’s relation to absolutes, to realities of surpassing grandeur and surety; the mood of believing involves one’s relation to uncertainties, to matters of explicitly questionable validity.[40]        
Artinya:
  1. Obyek faith biasanya terhadap person (Tuhan dan Kristus dalam agama Kristen: Umat Islam harus mengingat bahwa pemahaman orang Kristen tentang Tuhan bersifat personal); sedangkan objek believing adalah pada idea atau teori.
  2. Tindakan faith bisanya dengan putusan dengan mengambil sebuah langkah mengenai komitmen-diri tentang kosmik; keadaan believing sudah menjadi deskriptif bahkan mungkin passif, terkondisikan.
  3. Keadaan faith biasanya hubungan seseorang dengan yang absulut, dengan realitas yang tinggi lagi agung; keadaan believing adalah hubungan seseorang dengan yang berubah-ubah, kepada persoalan yang validitasnya masih dipertanyakan.
Penjelasan tersebut menunjukkan, bahwa faith sebagai iman dan intisari agama, obyeknya kepada person (langsung kepada Tuhan), sedangkan belief bersifat teoritis atau menyangkut ide-ide mengenai Tuhan.  Karena itu faith berkaitan dengan yang absolut, sedangkan belief berkaitan dengan sesuatu  relatif, masih dalam diskursus sehingga bisa menimbulkan aneka corak pendapat, bisa menimbulkan perbedaan dan diskusi yang serius di antara orang-orang yang memiliki belief yang berbeda pada satu obyek akidah tertentu.
            Belief yang berada dalam wacana pemikiran akidah sebagai hasil kerja dari Ilmu Kalam atau Teologi di mana di dalamnya terdapat berbagai firqah (aliran) yang saling bertentangan dan menyerang satu sama lain.  Dengan demikian, belief tidak dapat mempersatukan manusia dalam agama atau agama-agama menjadi “satu iman” untuk semua.  Namun, perbedaan dalam belief tersebut lahir dari doktrin faith, karena itu keduanya tidak dapat dipisahkan secara mutlak karena belief bisa memperkuat faith, tetapi bila faith berada pada titik sentralnya yaitu transenden dan merasakan hubungan dengan Tuhan maka faith masing-masing agama dipersatukan.
Belief bersifat historik  yang mungkin secara konseptual  berbeda dari satu generasi ke generasi yang lain.  Wainwrigh mengomentari pendapat Smith tersebut sebagai berikut: “Smith frequently calls our attention to the fact that the importance of belief, and in particular of doctrine or theology, varies from tradition to tradition”.[41] (Smith seringkali menarik perhatian kita pada fakta mengenai pentingnya belief khususnya dalam doktrin-doktrin tertentu ataupun teologi yang bervariasi dari satu tradisi ke tradisi yang lain). Dalam belief itulah orang beragama berbeda-beda  dan dari perbedaan itu akan menghasilkan konflik.  Sebaliknya dalam faith umat beragama dapat menyatu.  Smith mengemukakan semboyannya mengatakan: “The faith of all of us”, (Iman untuk kita semua).  Jadi, orang bisa berbeda dalam belief tetapi menyatu dalam faith. Dalam ungkapan Smit menyatakan: “diverge in belief, converge in faith[42] (beraneka dalam belief, menyatu dalam faith). Sebagai contoh, dalam masyarakat Islam terdapat berbagai aliran teologis maupun aliran fikih.  Mereka mungkin penganut Asy’ariyah atau mu’tazilah atau pengikut Imam Syafii atau Hambali.  Belief mereka berbeda yang mungkin menimbulkan sikap keagamaan yang berbeda.  Tetapi mereka tetap satu dalam faith (iman).  Demikian pula antara penganut agama, mereka berbeda dalam belief dan respons keagamaan yang berbeda tetapi hakikatnya menyatu dalam faith. Perbedaan antara faith dengan belief tersebut, di mana faith merupakan esensi keberagamaan.  Seseorang telah merasa dapat menyatukan agama-agama ke tingkat konvergensi.
Pandangan konvergensi tersebut yang menjadi dasar bagi Smith melahirkan teorinya mengenai “Theology of the World Religions”  (Teologi Agama-Agama Dunia) atau dapat disebut Theoligi Universal. Dalam teologi tersebut dilakukan deintelectualized of faith[43] atau menghilangkan elemen intelektual dalam iman sehingga yang ada hanya penghayatan batin atau terkaan intuitif terhadap Realitas yang diimani.

Tinjauan Umum

           
            Dari uraian yang lalu dapat dilihat bahwa pendangan Barat tentang Islam yang menggunakan pendekatan teologis terdapat nilai positif maupun negatifnya. Pandangan McDonald bahwa Nabi Muhammad mengalami kasus patologis, semacam kelainan jiwa tidak mempunyai alasan yang kuat karena dalam kenyataannya, Nabi Muhammad dalam waktu relatif singkat mampu mendapatkan pengikut dan simpatisan yang banyak.  Charles J. Adams sangat menolak pandangan Barat lainnya yang memandang Nabi Muhammad terkena penyakit histeria dan epilepsi.  Dalam salah satu tulisannya, Adams menjelaskan:

These views are no longer  tenable, however, is view of what is known of Muhammad’s personality, the single-mindedness of his purpose, and his transforming effects upon those who heard and followed him.  From the Muslim perspective these stories underline, the special and unusual nature of Muhammad’s state at the time of revelation.  He was not normal self, was oblivious to his sorrounding and appeared to have been possesed by an outsider power.  His state thus taken as an evidence that what his proclaimed was, indeed, a revelation from his Lord.[44] 
 
(Akan tetapi pandangan semacam ini [bahwa Nabi Muhammad menderita penyakit jiwa] tidak akan lama bertahan.  Apa yang diketahui tentang kepribadian Muhammad, cita-citanya dan akibat [dari missi yang dibawakan] dapat mengubah orang-orang yang mendengarkan dan meng-ikutinya.  Menurut pandangan Islam, cerita-cerita itu menyatakan sifat khas dan luar biasa yang dialami Muhammad pada waktu menerima wahyu.  Dia dalam keadaan tidak normal [tidak seperti kondisi biasa] melupakan apa yang ada di sekelilingnya dan nampak dikuasai oleh kekuatan dari luar.  Keadaan ini dipandang sebagai bukti dari apa yang dia sampaikan sesungguhnya  merupakan wahyu dari Tuhannya).

            Pendekatan teologi dialogis memberikan pengakuan Kristen akan kebenaran agama-agama lain. Dalam pandangan memberikan pengakuan eksistensial terhadap agama lain. Syed Vahiduddin menjelaskan bahwa Islampun mengakui keanekaan dalam kehidupan beragama.  Dalam penjelasannya menyatakan;

The diversity of religion is thus recognised by Islam as a part of providence. Though the quran urges humankind to follow the straight parth which it prescribes, it recognised that no human effort can change the order of the world in which belief and unbelief co-exist.[45]

Artinya;
(Keanekaan agama diakui oleh Islam sebagai bagian dari pemeliharaan Tuhan. Meskipun al-Quran mengajak manusia untuk mengikuti jalan yang benar sebagaimana yang  ia anjurkan, tetapi al-Quran mengakui bahwa tidak ada usaha manusia yang dapat mengubah dunia yang di dalamnya orang percaya dan orang yang tidak percaya hidup berdampingan).

            Berkenaan dengan itu, Islam menandaskan bahwa seseorang tidak boleh memaksakan keyakinannya kepada orang lain sebagaimana yang dijelaskan dalam 10:99, yang artinya: “Dan jikalau Tuhan menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
            Larangan memaksakan keyakinan seorang muslim terhadap orang lain berarti Islam menghormati keyakinan agama lain, mengakui perbedaan sehingga bisa menciptakan kerukunan dan kesetiakawanan sosial.
            Pandangan Smith dengan pendekatan teologi konvergensi menjurus ke pluralisme agama, yaitu pandangan yang memandang semua agama benar.  Agama disatukan dalam keyakinan faith. Pandangan seperti ini juga terdapat dalam Islam.  Pengikut pluralisme agama di kalangan intelektual Muslim dewasa ini mulai berkembang di mana-mana, misalnya Mahmoud Ayoub condong kepada konvergensi agama.  Ia berdasar pada Alqur’an Surah al-Baqarah 62 sebagai berikut:



Artinya:
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Ayat yang sama juga diulangi dalam Surah al-Ma’dah 69:
Artinya:

Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Dalam Surah al-Hajj, 17
Artinya:

Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.

Meskipun ulama lain memandang ayat 62 surah al-Baqarah dan ayat 69 surah al-Ma’idah hanya berlaku bagi penganut agama  Yahudi, Kristen dan penganut sha’ibin pada masa Rasulullah, yaitu penganut agama tersebut yang masih menganut agama aslinya, tetapi bagi Ayoub ayat tersebut di atas diberlakukan secara universal.[46] Dengan demikian, kecenderungan konvergensi agama seperti yang ditempuh oleh Smith juga sudah mulai terdapat di kalangan pemikir Islam kontemporer.

Kesimpulan

Dari uraian yang lalu dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Studi Islam di Barat sampai saat ini semakin mengalami perkembangan.  Dalam studi Islam itu sarjana Barat meneliti dan menganalisis Islam menurut tradisi ilmiah mereka.  Hasilnya kadang-kadang positif dan kadang-kadang negatif sesuai dengan metodik yang mereka gunakan.  Dalam penyelidikan mereka tentang Islam seringkali lebih melihat realitas umat Islam kemudian diidentikkan dengan Islam itu sendiri.
2.      Orang-orang Barat menaruh perhatian besar terhadap Islam dan umatnya, sejak abad pertengahan hingga kini. Di awal abad ke-11 hubungan Islam dengan Kristen Barat mengalami konflik akibat pengaruh perang salib, sehingga memberi pengaruh negatif bangsa Barat dalam mepersepsikan Islam.  Tetapi ketika kerajaan Turki terutama pada masa Sultan Mahmud II yang mengem-bangkan politik toleransi, maka persepsi Barat terhadap Islam cenderung positif.  Di abad-19 hubungan bangsa Barat dengan umat Islam kembali negatif karena semakin gencarnya imperialisme Barat  menekan umat Islam.  Sampai pertengahan abad ke-20 Sarjana Barat menerapkan pendekatan ilmiah (saintifik) terhadap Islam.  Islam seluruhnya ditempatkan sebagai fenomena historik-empirik  sehingga memberikan konklusi bahwa Islam adalah agama ciptaan dan hasil pengalaman historis Muhammad.  Pandangan demikian sampai kini masih berlanjut.  Tetapi bagi sarjana Barat yang menggunakan pendekatan fenomenologis cenderung positif karena pendekatan fenomenologis melihat realitas apa adanya tanpa dilatari dengan perspektif Kristen Barat.
  1. Pendekatan teologi dalam studi Islam dapat dibedakan atas: Pendekatan teologi apologis, teologi dialogis dan teologi konvergensi.  Pendekatan teologi apologis cenderung negatif karena meneliti Islam dengan perspektif Kristen.  Islam dinilai dan dianalisis untuk mengetahui kelemahannya menurut mereka dalam rangka memperkokoh agama (Kristen)nya sendiri.  Pende-katan teologi dialogis nampak positif, karena menilai Islam sebagai agama yang mengandung kebenaran dan memberikan keselamatan kepada penganutnya.  Dengan perspektif demikian, Islam di mata Barat dapat berdialog secara konstruktif dengan Islam sebagai agama yang keduanya dapat membawa umatnya kepada saling pengertian.  Pendekatan teologi konvergensi, masih menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan intelektual muslim.

















KEPUSTAKAAN


Adams, Charles J. “Quran” dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol 12, 1987.

Adams, David Stow. “Theology”, dalam James Hastings (ed.), Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. 12, t.th.

Ayoub, Mahmoud. “Nearest in Amity, Makalah, 1999.

Christian W.Troll, S.J. “Dialogue Between Islam and Christianity: W. Montgomery Watt Contribution”, dalam Vidyajyoti: Journal of Theological Reflection, Vol. XLIX, Jaunuari-Desember 1985.


Gordon E. Pruett, “Duncan Black McDonald: Christian Islamicist”, dalam Asaf Hussein et al (eds.), Orientalism, Islam and Islamists. Brattleboro, Vermont: Amana Books, 1984.

Hans Kung, “A Christian Response”, dalam Christianity and the World Religions Paths of Dialogue with Islam, Hinduism and Buddhism. New York: Doubleday and Company Inc., 1986.

Hans Kung, “Christian Response”, dalam Christianity and the World Religions: Parth of Dialogue with Islam, Hinduism and Buddism, New York: Doubleday & Company Inc., 1986.

Hill O.P. William J.  “Theology”, dalam Joseph A. Komonchak et. al., (eds.), The New Dictionary of Theology (Goldenbridge, Dublin: Gill and Macmillan, Ltd. 1974.

Kitagawa, Joseph, M. “The History of Religions in America”, dalam Mircea Eliade dan Joseph M. Kitagawa (eds.), The History of Religions: Essay on the Problem of Understanding. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1967.

Leinhardt, R.G, “Theology”, dalam David L. Sills (ed.) International Encyclopedia of the Social Sciences, Vol. 15, 1972.

McDonald,  Duncan Black. Immortality in Islam”, dalam  E. Hershey Sneath (ed.), Religion and the Future Life. New York: Fleming H. Revell Company, 1922.

McDonald, Duncan Black .Aspects of Islam. Freeport, New York: Books for Libraries Press, 1971.

McDonald, Duncan Black. “Doctrine of Revelation in Islam”, dalam The Muslim World, No. 7 , 1917.

McDonald, Duncan Black. Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory. New York: Charles Scribner’s Sons, 1903.

McDonald, Duncan Black. The Religious Attitude and Life of Islam. New York: AMS Press, 1970.


Philip C. Almond, “Wilfred Cantwell Smith as Theologian of Religions”, dalam Harvard Theological Review, No. 76, 1983.

Smith,  Huston.  “A Theological Voyage with Wilfred Canwell Smith”, dalam Religious Studies Review, Vo. 7, No. 4, 1981.

Smith, Huston. “Faith and Its Study: What Wilfred Cantwell Smith’s Againts, and for” dalam Religious Studies  Review, Vol. 7, No. 4, Oktober 1981.

Smith, Wilfred Canwell.  On Understanding Islam, New York: Hague, 1981.

Smith, Wilfred Canwell.  Religious Diversity, New York; Harper & Row Publishers, 1978.

Southern, R.W. Western View of Islam in the Middle Ages. Harvard University Press, 1962.

Vahiduddin, Syed. “Islam and the Diversity of Religion”, dalam Islam & Christian-Muslim Relation, Vol. 1 No. 1 Juni 1990.

Vergilis Ferm. “Theology”, dalam Dagobert D. Runes (ed.), Dictionary of Philosophy. Totowa, New Jersey: Littlefield Adams & Co., 1979.

Wach, Joachim. “Introduction; The Meaning and Task of the History of Religion Religionswissenschaft)”, dalam Mircea Eliade dan Joseph M. Kitagawa  (eds.), The History of Religions: Essay on the Problem of Understanding. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1967.

Wainwright, William J. “Wilfred Cantwell Smith on Faith and Belief”, dalam Religious Studies, No. 20, 1984.

Watt, W. Montgomery . “Toward a World Religion” dalam The Islamic Literatuure, Vol. VIII, No. 5-6, Mei-Juni 1956.

Watt, W. Montgomery “The Problems Before Islam Today”, dalam The Islamic Literature ,Vol. V, No. 10 Oktober 1953.

Watt, W. Montgomery “Thouhgts on Muslim-Christian Dialogue”, dalam Hamdard Islamicus, Vol. I, No, I 1978,




[1] Vergilis Ferm, “Theology”, dalam Dagobert D. Runes (ed.), Dictionary of Philosophy (Totowa, New Jersey: Littlefield Adams & Co., 1979), h. 317.
[2] R.G. Leinhardt, “Theology”, dalam David L. Sills (ed.) International Encyclopedia of the Social Sciences, Vol. 15, 1972, h. 604.
                Dalam pengertian tersebut di atas, biasanya juga digunakan di kalangan orang Yunani dalam menggambarkan karya sastra, seperti: Karya Homer dan Heiod ketika menulis tentang dewa-dewa dan perbuatan-perbuatannya.  Di kalangan filosof seperti: Plato dan Aristoteles, istilah  ini digunakan ketika mereka menspekulasikan tentang   Realitas Tertinggi atau Realitas  Mutlak sebagai landasan  segala sesuatu. (Lihat  David Stow Adams, “Theology”, dalam James Hastings (ed.), Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. 12, t.th., h. 293).
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid., h. 294.
[6] William J. Hill O.P., “Theology”, dalam Joseph A. Komonchak et. al., (eds.), The New Dictionary of Theology (Goldenbridge, Dublin: Gill and Macmillan, Ltd., 1987), h. 1015.
[7] Adams, op. cit., h. 296.
[8] Joachim Wach, The Comparative Study of Religion (
[9] Joachim Wach, “Introduction; The Meaning and Task of the History of Religion Religionswissenschaft)”, dalam Mircea Eliade dan Joseph M. Kitagawa  (eds.), The History of Religions: Essay on the Problem of Understanding (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1967), h. 1.
[10]Joseph M. Kitagawa, “The History of Religions in America”, dalam Mircea Eliade dan Joseph M. Kitagawa (eds.), The History of Religions: Essay on the Problem of Understanding (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1967), h. 18.
[11]Gordon E. Pruett, “Duncan Black McDonald: Christian Islamicist”, dalam Asaf Hussein et al (eds.), Orientalism, Islam and Islamists (Brattleboro, Vermont: Amana Books, 1984), h. 125.
[12] Duncan Black McDonald, Immortality in Islam”, dalam  E. Hershey Sneath (ed.), Religion and the Future Life (New York: Fleming H. Revell Company, 1922), h. 299.
[13] Pruett, op. cit., h. 134.
[14] Duncan Black McDonald, Aspects of Islam (Freeport, New York: Books for Libraries Press, 1971), h. 55-56.
[15] Duncan Black McDonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory (New York: Charles Scribner’s Sons, 1903), h. 150.
[16] Duncan Black McDonald, The Religious Attitude and Life of Islam (New York: AMS Press, 1970), h. 6-7.
[17] Duncan Black McDonald, “Doctrine of Revelation in Islam”, dalam The Muslim World, No. 7 , 1917, h. 116-117.
[18] Hans Kung, “A Christian Response”, dalam Christianity and the World Religions Paths of Dialogue with Islam, Hinduism and Buddhism (New York: Doubleday and Company Inc., 1986), h. 22.
[19] Ibid., h. 23.
[20] Ibid., h. 23.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] W. Montgomery Watt, “The Problems Before Islam Today”, dalam The Islamic Literature ,Vol. V, No. 10 Oktober 19953, h. 35.
[24] W.Montgomery Watt, “Toward a World Religion” dalam The Islamic Literatuure, Vol. VIII, No. 5-6, Mei-Juni 19956, h. 317.
[25] W.Montgomery Watt, “Thouhgts on Muslim-Christian Dialogue”, dalam Hamdard Islamicus, Vol. I, No, I 1978, H. 8.
[26] Christian W.Troll, S.J. “Dialogue Between Islam and Christianity: W. Montgomery Watt Contribution”, dalam Vidyajyoti: Journal of Theological Reflection, Vol. XLIX, Jaunuari-Desember 1985), h. 36.
[27] Lihat R.W. Southern, Western View of Islam in the Middle Ages (Harvard University Press, 1962), h. 22.
[28] Hans Kung, “Christian Response”, dalam Christianity and the World Religions: Parth of Dialogue with Islam, Hinduism and Buddism, New York: Doubleday & Company Inc., 1986, h. 25-26.
[29] Ibid., h. 26-27.
[30] Lihat ibid., h. 27-28.
[31] Ibid., h. 30.
[32] Ibid.
[33] Lihat Philip C. Almond, “Wilfred Cantwell Smith as Theologian of Religions”, dalam Harvard Theological Review, No. 76, 1983, h. 335.
[34] Lihat William J. Wainwright, “Wilfred Cantwell Smith on Faith and Belief”, dalam Religious Studies, No. 20, 1984, h. 353.
[35] Wilfred Canwell Smith, Religious Diversity, New York; Harper & Row Publishers, 1978, 12-13.
[36]Huston Smith,   “A Theological Voyage with Wilfred Canwell Smith”, dalam Religious Studies Review, Vo. 7, No. 4, 1981, h. 299.  
[37]Ibid.
[38] Ibid., h. 300.
[39] Ibid.
[40] Wilfred Canwell Smith, On Understanding Islam, New York: Hague, 1981.h. 277.
[41] Wainwright, op. cit., h. 356.
[42] Smith, On Understanding Islam, h. 265.
[43] Lihat Huston Smith, “Faith and Its Study: What Wilfred Cantwell Smith’s Againts, and for” dalam Religious Studies  Review, Vol. 7, No. 4, Oktober 1981, h. 309.
[44] Charles J. Adams, “Quran” dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol 12, 1987, h. 158.
[45] Syed Vahiduddin, “Islam and the Diversity of Religion”, dalam Islam & Christian-Muslim Relation, Vol. 1 No. 1 Juni 1990, h. 10.
[46] Lihat Mahmoud Ayoub, Nearest in Amity, Makalah, 1999, h. 24.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar