Sabtu, 02 Maret 2019

PENDEKATAN BARAT (ORIENTALIS) DALAM STUDI TENTANG NABI MUHAMMAD


BEBERAPA METODE PENDEKATAN
BARAT DALAM STUDI TENTANG
NABI MUHAMMAD
=========================== 
Oleh: Moh. Natsir Mahmud


1.Pendahuluan

O
rientalis adalah Sarjana Barat yang mempelajari dunia Timur, mencakup: kesusastraan, bahasa, kebudayaan, agama dan berbagai masalah lainnya. Nama orientalis dan orientalisme mulai dikenal pada abad ke-18, karena pada masa itu studi Barat tentang dunia Timur sudah bersifat akademik. Tetapi jauh sebelum itu orang Barat sudah berusaha mengetahui Islam.
            Studi tentang Nabi Muhammad juga menjadi topik utama dalam studi Islam di Barat. Di satu sisi, mereka sangat merendahkan pribadi dan tugas beliau, tetapi di sisi lain mereka mengaguminya. Karena itu, karya-karya orientalis tentang Nabi Muhammad sering bernada apologis, tetapi tidak sedikit juga yang bernada simpatik. Sampai saat ini, Nabi Muhammad masih merupakan tokoh kontroversial di mata Barat. Masalah yang timbul adalah faktor apa yang menyebabkan terjadinya pandangan demikian?
            Tulisan ini mencoba mendeskripsikan pandangan orientalis dalam masalah tersebut dengan menekankan pada metode interpretasi yang mereka gunakan disertai dengan beberapa catatan akan metode tersebut.

2. Studi Islam dan Nabi Muhammad di Barat

            Studi tentang Nabi Muhammad di Barat tidak dapat dipisahkan dari studi Islam. Perang Salib (Perang Salib I: 1096-1099 M.) sering kali dianggap sebagai faktor penyebab orang Barat ingin mengetahui lebih jauh tentang Islam. Akan tetapi jauh sebelum Perang Salib telah ada usaha orang Barat mengenai Islam tetapi masih sangat kabur. Menurut R.W. Southern, pengenalan Barat terhadap Islam sebelum perang Salib diumpamakan seperti orang dalam penjara yang hanya mendengar desas-desus dari luar kemudian membentuk gambaran yang dibuat-buat yang dibantu oleh pra-konsepsi mereka.[1] Pada waktu itu, nama yang dipakai untuk Islam adalah Saracens,[2] sebagai keterangan awal untuk menjelaskan fenomena Islam. Eulogius (w. 859 M) seorang Paus di Toledo dan Paul Alvarus (w.?) berusaha mengenal Islam didasarkan pada interpretasi mereka terhadap ramalan-ramalan dalam Bibel (Kitab Daniel 7:23-25). Empat kerajaan yang disebut dalam kitab itu; raja keempat adalah Sarances. Kerajaan ini menurut mereka merupakan tanda-tanda anti Kristus dalam tampilannya yang final.[3] Nabi Muhammad menurut mereka adalah: "Parody of the life of Christ"[4]. (Pengejek kehidupan Kristus). Alvarus menamakan Nabi Muhammad dengan Mahomet yang berarti "tukang laknat".[5] Eulogius dan Alvarus mengidentifikasi Islam dengan interpretasi spekulasi dari Bibel tanpa melihat kenyataan Islam di Spanyol, tempat mereka hidup.
            Masa Perang Salib merupakan era dimana orang Barat mulai berusaha mengenal Islam lebih jauh. menurut Southern, sesudah tahun 1120 M. gambaran tentang Islam dan Muhammad mulai tersebar luas di Eropa. Meskipun pada tahun-tahun sebelumnya sudah ada mahasiswa Eropa yang belajar di Andalusia tetapi nama Islam dan Muhammad belum tersebar luas. Sebelum tahun itu, nama Mohamet baru satu kali disebut dalam literatur di luar Spanyol dan Italia selatan.[6]
            Perhatian besar pada studi Islam di Eropa pada abad ke-12 M. dimulai ketika Petrus Veneralibis (Peter the Venerable), kepala biara induk di Cluny (Prancis) pernah mengunjungi Toledo. Ia kemudian membentuk satu tim untuk mempelajari Islam. Satu seri dari karya tim itu adalah terjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa Latin yang ditugaskan pada Robert Ketton dan diselesaikan pada bulan Juli 1143 M. Buku ini merupakan studi pertama orang Barat tentang al-Qur'an.[7] Dalam buku itu dikatakan bahwa al-Qur'an bukan firman Tuhan dan Mahomet bukan nabi dan rasul tetapi seorang tukang laknak dan penipu. Mereka memandang Nabi Muhammad sebagai setan, seperti halnya Arius adalah Setan karena menolak ketuhanan Yesus.[8]
            Di abad ke-13 M. terlihat gejala sikap simpatik orang Barat terhadap Islam. Roger Bacon (1210-1292) seorang tokoh Barat yang pernah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Islam Spanyol menolak sama sekali Bibel sebagai sarana mengenal Nabi Muhammad dan peran Islam di dunia. Ia menolak strategi Perang Salib dan mengusulkan kepada gereja Katolik agar mendirikan sekolah sebagai media dialog Islam dan Kristen.[9]
            Di abad ke-15 s.d. 18 persepsi Barat terhadap Islam secara umum lebih positif dari sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh kebijaksanaan Turki Usmani yang mengembangkan sikap toleransi dalam pemerintahannya, yang meskipun kadang-kadang terdapat komplik antara Turki dengan Barat tetapi tidak dikaitkan dengan ideologi keagamaan. Menurut Norman Daniel, sikap toleransi Turki itu ditiru oleh Kristen Barat[10]. Abad ke-17 dan 18 oleh Maxime Rodinson disebut the ages of reason dimana orang Barat cenderung melihat Islam secara obyektif.[11] Henri de Boulainvillers dalam bukunya: Mahomet no Impostor (1720) mengatakan Nabi Muhammad bukan penipu.[12] Menurut Edward Gibbon (1737-1794) Muhammad adalah seorang yang amat toleran dan ahli hukum yang bijaksana.[13] Meskipun tidak semua karya orientalis pada masa ini bernada positif, tetapi secara umum terlihat tanda perbaikan dari periode sebelumnya.
            Setelah munculnya Romantisisme pada abad ke-19 timbul usaha orang Barat mempelajari bahasa dan sastra Timur, terutama bahasa dan sastra Arab[14]. Akan tetapi dengan semakin meningkatnya kegiatan imperealisme di akhir abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, maka sikap apologi Barat untuk mendukung imperealismenya timbul kembali. Image negatif pada masa Perang Salin dibangkitkan kembali untuk menekan Islam dan umatnya di negara terjajah. Di masa itu juga muncul beberapa tokoh Sosiologi, seperti Karl Marx (1818-1883) dan Emila Durkhein (1858-1917); tokoh Psikoanalisa Sigmud Frued (1856-1939) Carl Gustav Jung (lahir 1875); tokoh Fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938). Teori mereka turut mempengaruhi metode pendekatan orientalis terhadap studi tentang Nabi Muhammad.


   1.       Beberapa Metode Pendekatan

a. Pendekatan Psikologis
            Dalam Ilmu Sejarah, Psikologi digunakan untuk menafsirkan metalitas tokoh sejarah; ilmu itu disebut Psycho-history. Psikoanalisa Frued sering digunakan untuk meneliti kejiwaan para tokoh sejarah tentang masa mudanya dan komplik batin yang dialaminya. Sebagian ahli sejarah mengakui, bahwa menggunakan Psikoanalisa untuk interpretasi para tokoh sejarah hasilnya cukup negatif.
            Menurut Frued, manusia sebagai individu selalu bertentangan dengan masyarakatnya, peradabannya dan norma dalam masyarakat. Kalau Karl Marx dan Rosseau melihat pertentangan individu dengan masyarakat dan peradaban terjadi di luar diri dalam bentuk perjuangan kelas, maka Freud melihat pertentangan itu justru terjadi dalam diri manusia. Menurut Freud, manusia bukan sebuah tabularasa (papan kosong) yang dapat ditulisi apa saja, tetapi manusia sudah memiliki kecenderungan anti sosial yang tidak bisa dihilangkan. Di sisi lain peradaban, agama dan etika berfungsi mengendalikan kecenderungan anti sosial setiap individu. Karena itu, peradaban dan etika menimbulkan rasa gelisah dalam diri manusia karena membatasi agresifitasnya. Dengan adanya peradaban, agama dan etika memasuki kalbu manusia dan mengendap dalam superegonya, maka manusia akan merasa bersalah bila melanggar. Kadang-kadang tekanan superego itu demikian berat sehingga bagian-bagian dalam psikis manusia menjadi patah, maka terjadilah gangguan psikis disebut neurosis (penyakit saraf) yang menjadi kasus patologis.[15]
            Maxime Rodinson melihat kejiwaan Nabi dengan interpretasi Psikoanalisa.[16] Menurut Rodinson, Muham-mad adalah orang yang adil, dia mampu memikirkan sesuatu sebelum mengambil keputusan, mampu berdiplomasi dan mengetahui kapan ia harus bertindak dan kapan diam. Tetapi di bawah dari apa yang nampak itu terdapat tempramen yang gugup penuh gairah nafsu, gelisah, tidak sabaran dan memendam sesuatu yang tidak mungkin. Kontradiksi interen dalam jiwa Muhammad itu mengakibatkan krisis neurosis. Lebih dari itu, menurut Rodinson, banyak faktor yang menyebabkan ketidak puasan Muhammad. Muhammad memiliki bakat yang tinggi akan perbaikan masyarakatnya, sementara masyarakatnya lebih berorientasi pada kegiatan dagang untuk memperoleh kekuatan politik. Mereka lebih banyak terlibat dalam soal praktis, sedangkan Muhammad lebih cenderung idealis. Kontradiksi antara jiwa Muhammad dengan kebiasaan dan kecenderungan masyarakatnya juga membawa pada krisis neurosis. Muhammad menyadari akan kemampuannya yang besar untuk membuat ramalan-ramalan mengenai apa yang penting bagi masyarakatnya. Dengan kemampuan itu, Muhammad hidup menyerupai kahin, bertapa dan berimajinasi, menghubungkan diri dengan meta-empiris. Dengan pengetahuan yang diperoleh itu, ia mulai berfatwa dan menyampaikan hasratnya pada masyarakat, lambat laun menyebut dirinya sebagai nabi.[17]
            Orientalis lainnya yang melihat kasus neurosis pada diri Nabi, misalnya A. Jeffery menyatakan, bahwa jiwa Muhammad merupakan kasus patologi yang serius yang tidak bisa diukur dengan standard yang normal.[18] Gustav Weil memandang Muhammad menderita epilepsi, sedangkan A. Spranger menyatakan menderita histeria.[19] Margoliouth melihat kasus epilepsi pada diri Muhammad ketika bercucuran keringat di saat menerima wahyu.[20]
            Pendapat-pendapat tersebut di atas menunjukkan, bahwa orientalis yang menggunakan kerangka teori Psikoanalisa berusaha memasukkan data yang tidak otentik dalam analisa mereka, misalnya penuh gairah nafsu (agresif), tidak sabaran dan mengangankan sesuatu yang tidak mungkin. Radinson menggambarkan pertentangan tajam dalam jiwa Nabi agar dapat menimbulkan neurosis. Data semacam itu hanya bertujuan mencocokkan dengan kerangka teori dari pendekatan yang ia gunakan.
            Berbeda dengan pendapat di atas, Noldeke (dari Jerman), sahabat karin Snouck Hurgronje mengatakan, bahwa jiwa Nabi sepenuhnya sehat, tidak ada tanda-tanda fisik dan mentalnya tertekan neurosis. Sekiranya Muhammad terkena neurosis, tidak akan ada orang yang mengikuti ajarannya.[21] Meskipun dalam berbagai hal, Noldeke cukup negatif terhadap Islam. Menurut Mircea Eliade, teori Psikoanalisa sangat reduksionis,[22] yaitu mereduksi psikis ke arah neurosis. Bahkan Frued memandang para sastrawan terkena neurosis karena tidak mampu menghadapi kenyataan hidup sehari-hari sehingga mereka menciptakan dunia fantasi.[23] Atas dasar itu pula al-Qur'an yang mengandung nilai sastra yang tinggi sehingga Rodinson menganggap al-Qur'an lahir dari jiwa neurosis.


b. Pendekatan Sosiologis

            Pendekatan sosiologis lebih ditekankan pada fungsi misi Nabi Muhammad. Di antara orientalis yang menggunakan interpretasi ini adalah H. Grimme, ia melihat corak sosialis dalam dakwah Muhammad.[24]
            W. Montgomery Watt mengikuti Grimme menja-dikan faktor sosial-ekonomi sebagai misi awal kenabian Muhammad. Watt menjadikan teori Marxisme untuk mengkaji peranan Nabi Muhammad sebagai tokoh pembaharu sosial-ekonomi.[25]
            Menurut Watt dalam periode menjelang kelahiran Muhammad penyembahan pada waktu itu bukan lagi agama berhala tetapi Tribal Humanism (humanisme kesukuan) sebagai perkembangan dari solidaritas kesukuan. Meskipun masih ada berhala pada masa Nabi tetapi lebih dipandang sebagai tahyul dari pada agama. Awal kemerosotan berhala, menurut Watt, diduga bermula pada Perang Fijar karena perang dianggap melanggar kesucian Mekah sebagai kota haram.[26] Menjelang kerasulan Muhammad, Tribal Humanism merosot lagi dan mengarah pada sikap hidup individualisme. Sikap ini muncul di tengah kota Mekah yang berperan sebagai lalu lintas dagang menyebabkan terjadinya perubahan sosial dari nomaden ke masyarakat komersial. Dari sikap hidup individualisme ini Nabi Muhammad muncul sebagai tokoh pembaharu, dengan memberikan landasan etis terhadap kegiatan sosial-ekonomi. Karena itu, ayat-ayat yang turun pada periode awal Mekah, menurut Watt, lebih menekankan pada etika sosial-ekonomi (misalnya Surah 96: 6-8).[27] Menurut Watt, pengikut Nabi Muhammad di Mekah adalah orang-orang lemah. Lapisan masyarakat atas tidak mengikuti dakwah Nabi karena mereka lebih memusatkan diri pada kegiatan dagang. [28]Nabi Muhammad bangkit menggerekkan kaum lemah agar melawan lapisan masyarakat atas. Pandangan ini sangat bercorak Marxisme. Dalam pandangan Marxisme, terdapat mitos bahwa orang lemah (proletariat) akan bangkit melawan lapisan masyarakat atas (borjuis) dan akan dimenangkan oleh kaum proletariat. Nabi Muhammad muncul memobilisasi masyarakat bahwa menentang kelompok masyarakat atas dan menang. Dengan kemenangan itu, hapuslah perbedaan peham dan hilanglah perbedaan kelas dan etnis.
            Oleh karena menggunakan interpretasi menurut kerangka teori Marxisme, maka Watt mengemukakan data yang tidak otentik. Watt menempatkan penganut Islam pertama sebagai kelas masyarakat bawah untuk bangkit melawan masyarakat atas dan menang. Pendapat ini tidak sesuai dengan kenyataan. Abu Bakar, Umar, Usman dan sahabat lainnya adalah saudagar kaya, bangsawan dan orang terpandang dalam masyarakat, seperti halnya Nabi Muhammad sendiri. Di sini Watt mereduksi kelahiran Islam pada fenomena sosial-ekonomi. Menurut  Manzooruddin Ahmed, Watt menekankan sifat keduniaan (mundane) kelahiran Islam bukan sifat keagamaannya.[29]
            Integrasi sosial dalam pandangan Watt, sebagai-mana halnya dalam masyarakat komunisme dengan menghilangkan sama sekali perbedaan ideologis, etnis dan kelas sosial; juga bertentangan dengan kenyataan. Setelah wafatnya Nabi muncul kelompok-kelompok etnis yang masing-masing mengklaim diri berhak menjadi khalifah. Ini berarti Islam tidak pernah menghapuskan kelompok etnis (misalnya, al-Qur'an mengabadikan kelompok Muhajirin dan Anshar), Islam hanya mempersaudarakan mereka. Al-Qur'an pun tetap mengabadikan kaum aghniya dan fuqara yang diatur dalam kewajiban tertentu. Jadi, Islam tidak bermaksud menghapus kelas sosial, Islam mengakui kebhinekaan di bawah naungan Islam.

   2.       Pendekatan Teologis: Bias Yahudi dan Kristen

            Sebagian orientalis memandang bahwa kenabian Muhammad sebagai imitasi dari nabi-nabi dalam Bibel. Menurut Grunebaum, ajaran Yahudi dan Kristen merupakan instrumen bagi Muhammad dalam membentuk ide-ide kenabiannya.[30] Ahrens lebih menekankan agama Kristen sebagai sumber awal inspirasi Muhammad. Di awal kehidupannya, Muhammad terpengaruh oleh Kristen di wilayah Hijaz, karena itu agama Kristen lebih dominan mempengaruhi Muhammad dalam merumuskan ajaran-nya.[31]  J. Wellhausen meman-dang Muhammad adalah murid pendeta Kristen dari arah selatan (Yaman).79 Sedangkan Richard Bell melihat pengaruh Kristen terutama dari arah utara (Syiria), karena Kristen Syiria  menolak penyaliban Yesus serta doktrin mengenai Maryam.[32] A. Jeffery juga berpendapat, bahwa Bibel merupakan sumber awal pengetahuan Muhammad sebagai basis kerasulannya. Konsep tentang: nabi, rasul, wahyu dan kitab suci diambil dari Bibel.[33] John Wosnbrough memandang kenabian Muhammad sebagai imitasi kenabian Musa yang dikembangkan secara teologis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Arab. Al-Qur'an, menurut Wansbrough bukan berperan sebagai sumber biografi Muhammad, tetapi sebagai sumber konsep yang pada akhirnya ditetapkan untuk menyusun teologi Islam tentang kenabian.[34]
            Orientalis yang dikemukakan di atas (kecuali Wansbrough) hidup pada masa kolonial ketika dunia Islam masih di tangan imperalisme Barat. Imperealisme tidak dapat dipisahkan dari Kristenisasi. Di abad ke-19 kegiatan imperealisme semakin meningkat dan agama Kristen menjadi salah satu media imperealisme. Para sarjana Barat ahli agama Kristem seperti J. Wellhausen berusaha mencari naskah Bibel yang asli untuk memperkokoh kedudukan Kristen, tetapi tidak berhasil. Memperkokoh kedudukan Kristen tidak hanya dilakukan dengan merenovasi agama itu, tetapi juga menyerang agama bangsa jajahan, terutama Islam diletakkan sebagai agama sub-ordinat, lebih rendah dari agama Kristen karena merupakan tiruan dari agama Kristen. Sikap ini menyuburkan kembali apologi Kristen terhadap Islam seperti apologi di masa Perang Salib.
            Beberapa orientalis yang menolak pengaruh agama Yahudi dan Kristen terhadap Nabi Muhammad, misalnya P.K. Hitti menyatakan, bahwa kedua agama itu tidak pernah menarik minat orang Arab di Hijaz dan sekitarnya, kecuali beberapa orang tertentu.[35] J. Fuck juga menolak pengaruh agama Yahudi dan  Kristen terhadap Muham-mad, karena bila Muhammad terpengaruh agama itu akan membawa pada kontradiksi yang sulit di atasi ,[36] misalnya, tentang konsep ketuhanan). Namun, J. Fuck juga menempatkan Islam lebih rendah dari Kristen.

d. Pendekatan Fenomenologis

            Filsafat Fenomenologi yang diciptakan oleh E. Husserl dijadikan sebagai salah satu metode pendekatan dalam studi agama yang dikenal dengan fenomenologi agama oleh:  Geradus van der Leeuw, Mircea Eliade, W. Brede Kristensen, W. Bijlefeld, dll.
            Interpretasi fenomenologi cukup positif dalam studi agama, atas prinsip bahwa kita harus memahami agama lain seperti yang dipahami oleh penganut agama itu, menghindari presupposisi (prasangka) tertentu dan mencoba menangkap esensi agama secara holistik. Fenomenologi agama sangat menolak reduksionisme dan sikap bias dalam mengamati fenomena keagamaan. Sarjana Barat di bidang studi Islam yang menggunakan fenomenologi disebut "Islamolog", bukan orientalis. Meskipun pendapat ini masih kontroversial.
            Di antara Sarjana Barat yang melihat Nabi Muham-mad secara fenomenologis, adalah Maurice Bucaille. Bucaille dengan tegas menyatakan bahwa Muhammad benar-benar seorang Nabi dan al-Qur'an adalah wahyu Tuhan. Nabi Muhammad tidak tergantung pada Bibel karena di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Bila Nabi Muhammad mengarang al-Qur'an tidak akan mungkin dapat menyensor kesalahan-kesalahan dalam Bibel,[37] sebab al-Qur'an adalah kitab suci yang banyak mengandung informasi ilmu dan tidak bertentangan dengan Sains modern.  Marcel A. Boisard juga memandang Nabi Muhammad sekedar penyambung lidah wahyu Tuhan, ia tidak mempunyai kedudukan seperti Yesus dalam Kristen. Boisard dengan tegas menyatakan: Muhammad orang luar biasa dan Nabi sesungguhnya.[38] Charles J. Adams dalam salah satu artikelnya mendes-kripsikan kenabian Muhammad, tidak memberi kesan Nabi meniru dari Bibel dan tidak menderita epilepsi. Bahkan Adams menolak pendapat orientalis yang menyatakan, bahwa al-Qur'an mengandung sastra tinggi (terutama ayat Makiah) karena orang Arab ahli Syair, dan al-Qur'an muncul menandingi kemampuan syair orang Arab.[39]  Sarjana Barat lainnya yang menggunakan interpretasi fenomenologi seperti: William A. Graham, A. Roet Crollius Ary, Roger Garaudy dll. Bucaille dan Boisard sudah tergolong menggunakan ideatic vision dalam fenomenologinya tentang Nabi Muhammad, sedangkan Adams, Graham, Ary dan Graudy masih berada pada tingkat epoche' (fenomenologi deskriptif).


4. Tinjauan Umum

            Dari keempat metode pendekatan di atas, pendekatan fenomenologis lebih positif, bahkan Bucaille dan Boisard cenderung simpatik terhadap Islam dan Nabi Muhammad. Tiga model interpretasi sebelumnya bercorak reduksionis dan bias. Interpretasi yang demikian mengabaikan sumber-sumber Islam atau menempatkannya sebagai sumber sekunder. Mereka menggunakan data yang tidak otentik dan ditundukkan pada kerangka interpretasi yang digunakan. Charles J. Adams mengemukakan bahwa Sarjana Barat seringkali mengabaikan sumber Islam. Data yang minim dari Islam mereka tampilkan dan ditundukkan pada pandangan apriori mereka,[40]  sehingga sulit menghasilkan konklusi yang obyektif. W.C. Smith juga mengusulkan agar sarjana Barat yang belajar Islam perlu mengemukakan fakta secara jujur dalam menerapkan tradisi ilmiah Barat dengan adil.  [41]Bila kedua anjuran itu diterapkan dalam studi Islam, maka studi Islam di Barat akan lebih obyektif.


5. Kesimpulan

            Dari uraian di atas dapat disimpilkan sebagai berikut: Pandangan orientalis terhadap Nabi Muhammad, secara umum sangat diwarnai oleh sifat hubungan Barat dengan umat Islam. Ketika Perang Salin berkecamuk, pandangan mereka amat negatif tetapi ketika Eropa mengalami era renaissance dan pencerahan orang Barat berpandangan positif terhadap Nabi Muhammad sebagai tokoh yang menampilkan ajaran agama yang menghargai akal. Abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20 image negatif muncul kembali untuk mendukung usaha imperealisme yang semakin gencar. Usaha melemahkan Islam dilakukan dalam bentuk kajian ilmiah dengan menggunakan model interpretasi yang tidak sesuai dengan substansi masalah. Akan tetapi dengan kecenderungan sebagian sarjana Barat menerapkan metode fenomenologi, maka konsep dan konklusi yang mereka sajikan, secara umum tidak bertentangan dengan ajaran Islam.




24R.W. Southern, Western Views of Islam in the Middle Ages (Harvard University Press, 1962), h. 14.
25Norma Daniel menjelaskan bahwa Saracens tidak dapat diidentikkan dengan Islam. Saracens lebih ekuivalen dengan Maurus (penduduk Mauritania), tetapi kadang-kadang juga digunakan untuk orang Arab Pra-Islam. Pada bagian lain, Daniel mengartikan Saracens dengan orang bakal menjadi Islam.  Lihat Norman Daniel, Islam and the West the Making of an Image, Edinburgh at the University Press, 1960, h. 14 dan 345. 
26Southern, op. cit., h. 22.
27Ibid.
28Ibid.
29 Ibid., h. 28.
 30W.Montgomery Watt, Bell's Introduction to the Qur'an (Edinburgh at the University Press, 1970), h. 173.
31James Kritzeck, Peter the Venerable and Islam (Priceton University Press, 1964), h. 184.
32Southern, op. cit., h. 57-61.
33Norman Daniel, Islam Europe and Empire (Edinburgh at the University Press, 1966), h. 12.
34 Maxime Rodinson, "The Western Image and Western Studies of Islam", dalam The Legacy of Islam (Oxford at the Clarendon Press, 1974), h. 37.
35 Norman Daniel, Islam and the West, h. 288-289.
36 Maxime Rodinson, “The Western Image”, h. 39.
37Bernard Lewis, Britis Contribution to Arabic Studies (London: The British Council, 1974), h. 19-20.
38Metode Psikoanalisa dapat dilihat dalam William P. Altson, "Logical Status of Psychoanalitic Theories", dalam Encyclopedia of Phylosophy, Vol. 6, h. 514.
39 Maxime Rodinson, Mohammed (England: Penguin Books, 1971), h. 53.

40Ibid., h. 53, 57-64.
41Arthur Jeffery, "The Qur'an as Scripture", dalam The Muslim World, No. 40, 1950, h. 108.
42 W. Montgomery Watt, Bell's Introduction, h. 17.
43D.S. Margoliouth, Muhammed and the Rise of Islam (Freeport, New York: Book for Libraries Press, 1975), h. 45-46.
44Theodor Noldeke, Geschlichte des Qorans, I (Leipzig: Dieterichsche Verlagsbuchhandlung, 1909), h. 2.
45Mircea Eliade, The Quest: History and Meaning of Religion (The University of Chicago Press, 1967), h. 21.
46Ronald Grimsley, "Psychoanalysis and Literary Criticism in Historical Perspective", dalam The Psychoanalitic Interpretation of History (New York: Happer Torchbooks, 1971), h. 51-52.
47H. Grimme, Muhammad das Leben, I (Munster, 1892), h. 14.
48W. Montgomery Watt, Islam and the Integration of Society (London: Penguin Books, 1971), h. 2.
49W. Montgomery Watt, Muhammad at Mecca (Oxford at the Clarendon Press, 1953), h. 23-24.
50 W. Montgomery Watt, "Economic and Social Aspect of the Oringin of Islam", dalam The Islamic Quarterly, Vol. I, No. 1 April 1954, h. 91-92.
51W. Montgomery Watt, Muhammad Nabi dan Negarawan, terjemahan Djohan Effendi (Jakarta: CV Kuning Mas, 1984), h. 41.
52Manzooruddin Ahmed, "W. Montgomery Watt, Islam and the Integration of Society, sebagai resensi, dalam Islamic Studies, Vol. II, 1963, h. 143.
53Gustave E. Von Grunebaum, Islam Essay in theNature and Growth of a Cultural Tradition (New York: Barnes and Noble, 1961), h. 13.
54K. Ahrens, "Christliches im Qoran", dalam Zeitschrift der Deutschen Morggenlandischen Gesellschaft, Band 84, 1934, h. 49.
55 Richard Bell, The Origin of Islam and Its Christian Environment (London: Frank Case, Co., Ltd., 1968, h. 153-154.
56 Arthur Jeffery, op. cit., h. 108, 115, 195.
57John Wansbrough, Quranic Studies (Oxford University Press, 1977), 56-57.
58 Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: Mac,illan Ltd., 1958), h. 14.
59J. Fuck, 'Die Originalitat des Arabischen Propeten", dalam Zeitschift der Deutschen Morgenlandischen Gesellsahaft, Band 90, 1936, h. 521.
60Maurice Bucaille, Asal Usul Manusia Dalam Bibel dan Sains, terjemahan Rahmani Astuti (Bandung: PT. Mizan, 1986), h. 1986.
61 Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, terjemahan H.M. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 48, 53.
62 Charles J. Adams, "Qur'an", dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 12, 1987, 156 et passim.
63 Charles J. Adams, "The History of Religion and the Study of Islam", dalam Joseph M. Kitagawa (ed.), The History of Religions: Essays on the Problem of Understanding (The University of Chicago Press, 1967), h. 179.
64W.C. Smith, "Comparative Religion: Whither -- and Why?", dalam Mircea Eliade (ed.), The History of Religions: Essays in Methodology (The University of Chicago Press, 1974), h. 43-44.