BEBERAPA
METODE PENDEKATAN
BARAT
DALAM STUDI TENTANG
NABI
MUHAMMAD
===========================
Oleh:
Moh. Natsir Mahmud
1.Pendahuluan
O
|
rientalis
adalah Sarjana Barat yang mempelajari dunia Timur, mencakup: kesusastraan,
bahasa, kebudayaan, agama dan berbagai masalah lainnya. Nama orientalis dan
orientalisme mulai dikenal pada abad ke-18, karena pada masa itu studi Barat
tentang dunia Timur sudah bersifat akademik. Tetapi jauh sebelum itu orang
Barat sudah berusaha mengetahui Islam.
Studi tentang Nabi Muhammad juga
menjadi topik utama dalam studi Islam
di Barat. Di satu sisi, mereka sangat merendahkan pribadi dan tugas beliau,
tetapi di sisi lain mereka mengaguminya. Karena itu, karya-karya orientalis
tentang Nabi Muhammad sering bernada apologis, tetapi tidak sedikit juga yang
bernada simpatik. Sampai
saat ini, Nabi Muhammad masih merupakan tokoh kontroversial di mata Barat.
Masalah yang timbul adalah faktor apa yang menyebabkan terjadinya pandangan
demikian?
Tulisan ini mencoba mendeskripsikan
pandangan orientalis dalam masalah tersebut dengan menekankan pada metode
interpretasi yang mereka gunakan disertai dengan beberapa catatan akan metode
tersebut.
2. Studi Islam dan Nabi Muhammad di
Barat
Studi
tentang Nabi Muhammad di Barat tidak dapat dipisahkan dari studi Islam. Perang
Salib (Perang Salib I: 1096-1099 M.) sering kali dianggap sebagai faktor
penyebab orang Barat ingin mengetahui lebih jauh tentang Islam. Akan tetapi
jauh sebelum Perang Salib telah ada usaha orang Barat mengenai Islam tetapi
masih sangat kabur. Menurut R.W. Southern, pengenalan Barat terhadap Islam
sebelum perang Salib diumpamakan seperti orang dalam penjara yang hanya
mendengar desas-desus dari luar kemudian membentuk gambaran yang dibuat-buat
yang dibantu oleh pra-konsepsi mereka.[1] Pada
waktu itu, nama yang dipakai untuk Islam
adalah Saracens,[2] sebagai
keterangan awal untuk menjelaskan fenomena Islam. Eulogius (w. 859 M) seorang
Paus di Toledo dan Paul Alvarus (w.?) berusaha mengenal Islam didasarkan pada
interpretasi mereka terhadap ramalan-ramalan dalam Bibel (Kitab Daniel
7:23-25). Empat kerajaan yang disebut dalam kitab itu; raja keempat adalah
Sarances. Kerajaan ini menurut mereka merupakan tanda-tanda anti Kristus dalam
tampilannya yang final.[3] Nabi
Muhammad menurut mereka adalah: "Parody of the life of Christ"[4].
(Pengejek kehidupan Kristus). Alvarus menamakan Nabi Muhammad dengan Mahomet
yang berarti "tukang laknat".[5] Eulogius
dan Alvarus mengidentifikasi Islam dengan interpretasi spekulasi dari Bibel
tanpa melihat kenyataan Islam di Spanyol, tempat mereka hidup.
Masa Perang
Salib merupakan era dimana orang Barat mulai berusaha mengenal Islam lebih
jauh. menurut Southern, sesudah tahun 1120 M. gambaran tentang Islam dan
Muhammad mulai tersebar luas di Eropa. Meskipun pada tahun-tahun sebelumnya
sudah ada mahasiswa Eropa yang belajar di Andalusia tetapi nama Islam dan
Muhammad belum tersebar luas. Sebelum tahun itu, nama Mohamet baru satu kali
disebut dalam literatur di luar Spanyol dan Italia selatan.[6]
Perhatian besar pada studi Islam di
Eropa pada abad ke-12 M. dimulai ketika Petrus Veneralibis (Peter the
Venerable), kepala biara induk di Cluny (Prancis) pernah mengunjungi Toledo. Ia
kemudian membentuk satu tim untuk mempelajari Islam. Satu seri dari karya tim
itu adalah terjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa Latin yang ditugaskan pada
Robert Ketton dan diselesaikan pada bulan Juli 1143 M. Buku ini merupakan studi
pertama orang Barat tentang al-Qur'an.[7] Dalam
buku itu dikatakan bahwa al-Qur'an bukan firman Tuhan dan Mahomet bukan nabi
dan rasul tetapi seorang tukang laknak dan
penipu. Mereka memandang Nabi Muhammad sebagai setan, seperti halnya Arius
adalah Setan karena menolak ketuhanan Yesus.[8]
Di abad ke-13 M. terlihat gejala
sikap simpatik orang Barat terhadap Islam. Roger Bacon (1210-1292) seorang
tokoh Barat yang pernah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Islam Spanyol
menolak sama sekali Bibel sebagai sarana mengenal Nabi Muhammad dan peran Islam
di dunia. Ia menolak strategi Perang Salib dan mengusulkan kepada gereja
Katolik agar mendirikan sekolah sebagai media dialog Islam dan Kristen.[9]
Di abad ke-15 s.d. 18 persepsi Barat
terhadap Islam secara umum lebih positif dari sebelumnya. Hal ini disebabkan
oleh kebijaksanaan Turki Usmani yang mengembangkan sikap toleransi dalam
pemerintahannya, yang meskipun kadang-kadang terdapat komplik antara Turki
dengan Barat tetapi tidak dikaitkan dengan ideologi keagamaan. Menurut Norman
Daniel, sikap toleransi Turki itu ditiru oleh Kristen Barat[10]. Abad
ke-17 dan 18 oleh Maxime Rodinson disebut the ages of reason dimana orang Barat
cenderung melihat Islam secara obyektif.[11] Henri de
Boulainvillers dalam bukunya: Mahomet no Impostor (1720) mengatakan Nabi
Muhammad bukan penipu.[12] Menurut
Edward Gibbon (1737-1794) Muhammad adalah seorang yang amat toleran dan ahli
hukum yang bijaksana.[13] Meskipun
tidak semua karya orientalis pada masa ini bernada positif, tetapi secara umum
terlihat tanda perbaikan dari periode sebelumnya.
Setelah munculnya Romantisisme pada
abad ke-19 timbul usaha orang Barat mempelajari bahasa dan sastra Timur,
terutama bahasa dan sastra Arab[14]. Akan
tetapi dengan semakin meningkatnya kegiatan imperealisme di akhir abad ke-19
sampai pertengahan abad ke-20, maka sikap apologi Barat untuk mendukung
imperealismenya timbul kembali. Image negatif pada masa Perang Salin
dibangkitkan kembali untuk menekan Islam dan umatnya di negara terjajah. Di
masa itu juga muncul beberapa tokoh Sosiologi, seperti Karl Marx (1818-1883)
dan Emila Durkhein (1858-1917); tokoh Psikoanalisa Sigmud Frued (1856-1939)
Carl Gustav Jung (lahir 1875); tokoh Fenomenologi Edmund Husserl (1859-1938).
Teori mereka turut mempengaruhi metode pendekatan orientalis terhadap studi
tentang Nabi Muhammad.
1. Beberapa Metode Pendekatan
a.
Pendekatan Psikologis
Dalam Ilmu Sejarah, Psikologi
digunakan untuk menafsirkan metalitas tokoh sejarah; ilmu itu disebut Psycho-history.
Psikoanalisa Frued sering digunakan untuk meneliti kejiwaan para tokoh sejarah
tentang masa mudanya dan komplik batin yang dialaminya. Sebagian ahli sejarah
mengakui, bahwa menggunakan Psikoanalisa untuk interpretasi para
tokoh sejarah hasilnya cukup negatif.
Menurut Frued, manusia sebagai
individu selalu bertentangan dengan masyarakatnya, peradabannya dan norma dalam
masyarakat. Kalau Karl Marx dan Rosseau melihat pertentangan individu dengan
masyarakat dan peradaban terjadi di luar diri dalam bentuk perjuangan kelas,
maka Freud melihat pertentangan itu justru terjadi dalam diri manusia. Menurut
Freud, manusia bukan sebuah tabularasa (papan kosong) yang dapat ditulisi apa
saja, tetapi manusia sudah memiliki kecenderungan anti sosial yang tidak bisa
dihilangkan. Di sisi lain peradaban, agama dan etika berfungsi mengendalikan
kecenderungan anti sosial setiap individu. Karena itu, peradaban dan etika
menimbulkan rasa gelisah dalam diri manusia karena membatasi agresifitasnya.
Dengan adanya peradaban, agama dan etika memasuki kalbu manusia dan mengendap
dalam superegonya, maka manusia akan merasa bersalah bila melanggar.
Kadang-kadang tekanan superego itu demikian berat sehingga bagian-bagian dalam
psikis manusia menjadi patah, maka terjadilah gangguan psikis disebut neurosis
(penyakit saraf) yang menjadi kasus patologis.[15]
Maxime Rodinson melihat kejiwaan
Nabi dengan interpretasi Psikoanalisa.[16] Menurut
Rodinson, Muham-mad adalah orang yang adil, dia mampu memikirkan sesuatu
sebelum mengambil keputusan, mampu berdiplomasi dan mengetahui kapan ia harus
bertindak dan kapan diam. Tetapi
di bawah dari apa yang nampak itu terdapat tempramen yang gugup penuh gairah
nafsu, gelisah, tidak sabaran dan memendam sesuatu yang tidak mungkin. Kontradiksi interen dalam jiwa Muhammad itu
mengakibatkan krisis neurosis. Lebih dari itu, menurut Rodinson, banyak faktor
yang menyebabkan ketidak puasan Muhammad. Muhammad memiliki bakat yang tinggi
akan perbaikan masyarakatnya, sementara masyarakatnya lebih berorientasi pada
kegiatan dagang untuk memperoleh kekuatan politik. Mereka lebih banyak terlibat
dalam soal praktis, sedangkan Muhammad lebih cenderung idealis. Kontradiksi
antara jiwa Muhammad dengan kebiasaan dan kecenderungan masyarakatnya juga
membawa pada krisis neurosis. Muhammad menyadari akan kemampuannya yang besar
untuk membuat ramalan-ramalan mengenai apa yang penting bagi masyarakatnya.
Dengan kemampuan itu, Muhammad hidup menyerupai kahin, bertapa dan
berimajinasi, menghubungkan diri dengan meta-empiris. Dengan pengetahuan yang
diperoleh itu, ia mulai berfatwa dan menyampaikan hasratnya pada masyarakat,
lambat laun menyebut dirinya sebagai nabi.[17]
Orientalis lainnya yang melihat
kasus neurosis pada diri Nabi, misalnya A. Jeffery menyatakan, bahwa jiwa
Muhammad merupakan kasus patologi yang serius yang tidak bisa diukur dengan
standard yang normal.[18] Gustav
Weil memandang Muhammad menderita epilepsi, sedangkan A. Spranger menyatakan
menderita histeria.[19]
Margoliouth melihat kasus epilepsi pada diri Muhammad ketika bercucuran
keringat di saat menerima wahyu.[20]
Pendapat-pendapat tersebut di atas
menunjukkan, bahwa orientalis yang menggunakan kerangka teori Psikoanalisa
berusaha memasukkan data yang tidak otentik dalam analisa mereka, misalnya
penuh gairah nafsu (agresif), tidak sabaran dan mengangankan sesuatu yang tidak
mungkin. Radinson menggambarkan pertentangan tajam dalam jiwa Nabi agar dapat
menimbulkan neurosis. Data semacam itu hanya bertujuan mencocokkan dengan
kerangka teori dari pendekatan yang ia gunakan.
Berbeda dengan pendapat di atas,
Noldeke (dari Jerman), sahabat karin Snouck Hurgronje mengatakan, bahwa jiwa
Nabi sepenuhnya sehat, tidak ada tanda-tanda fisik dan mentalnya tertekan
neurosis. Sekiranya Muhammad terkena neurosis, tidak akan ada orang yang
mengikuti ajarannya.[21] Meskipun
dalam berbagai hal, Noldeke cukup negatif terhadap Islam. Menurut Mircea
Eliade, teori Psikoanalisa sangat reduksionis,[22] yaitu
mereduksi psikis ke arah neurosis. Bahkan Frued memandang para sastrawan terkena
neurosis karena tidak mampu menghadapi kenyataan hidup sehari-hari sehingga
mereka menciptakan dunia fantasi.[23] Atas
dasar itu pula al-Qur'an yang mengandung nilai sastra yang tinggi sehingga
Rodinson menganggap al-Qur'an lahir dari jiwa neurosis.
b. Pendekatan
Sosiologis
Pendekatan sosiologis lebih
ditekankan pada fungsi misi Nabi Muhammad. Di antara orientalis yang
menggunakan interpretasi ini adalah H. Grimme, ia melihat corak sosialis dalam
dakwah Muhammad.[24]
W. Montgomery Watt mengikuti Grimme
menja-dikan faktor sosial-ekonomi sebagai misi awal kenabian Muhammad. Watt
menjadikan teori Marxisme untuk mengkaji peranan Nabi Muhammad sebagai tokoh
pembaharu sosial-ekonomi.[25]
Menurut
Watt dalam periode menjelang kelahiran Muhammad penyembahan pada waktu itu
bukan lagi agama berhala tetapi Tribal Humanism (humanisme kesukuan) sebagai
perkembangan dari solidaritas kesukuan. Meskipun masih ada berhala pada masa
Nabi tetapi lebih dipandang sebagai tahyul dari pada agama. Awal kemerosotan
berhala, menurut Watt, diduga bermula pada Perang Fijar
karena perang dianggap melanggar kesucian Mekah sebagai kota haram.[26] Menjelang
kerasulan Muhammad, Tribal Humanism merosot lagi dan mengarah pada sikap
hidup individualisme. Sikap ini muncul di tengah kota Mekah yang berperan
sebagai lalu lintas dagang menyebabkan terjadinya perubahan sosial dari nomaden
ke masyarakat komersial. Dari sikap hidup individualisme ini Nabi Muhammad
muncul sebagai tokoh pembaharu, dengan memberikan landasan etis terhadap
kegiatan sosial-ekonomi. Karena itu, ayat-ayat yang turun pada periode awal
Mekah, menurut Watt, lebih menekankan pada etika sosial-ekonomi (misalnya Surah
96: 6-8).[27]
Menurut Watt, pengikut Nabi Muhammad di Mekah adalah orang-orang lemah. Lapisan
masyarakat atas tidak mengikuti dakwah Nabi karena mereka lebih memusatkan diri
pada kegiatan dagang. [28]Nabi
Muhammad bangkit menggerekkan kaum lemah agar melawan lapisan masyarakat atas.
Pandangan ini sangat bercorak Marxisme. Dalam pandangan Marxisme, terdapat
mitos bahwa orang lemah (proletariat) akan bangkit melawan lapisan masyarakat
atas (borjuis) dan akan dimenangkan oleh kaum proletariat. Nabi Muhammad muncul
memobilisasi masyarakat bahwa menentang kelompok masyarakat atas dan menang.
Dengan kemenangan itu, hapuslah perbedaan peham dan hilanglah perbedaan kelas
dan etnis.
Oleh karena menggunakan interpretasi
menurut kerangka teori Marxisme, maka Watt mengemukakan data yang tidak
otentik. Watt menempatkan penganut Islam pertama sebagai kelas masyarakat bawah
untuk bangkit melawan masyarakat atas dan menang. Pendapat ini tidak sesuai
dengan kenyataan. Abu Bakar, Umar, Usman dan sahabat lainnya adalah saudagar
kaya, bangsawan dan orang terpandang dalam masyarakat, seperti halnya Nabi
Muhammad sendiri. Di sini Watt mereduksi kelahiran Islam
pada fenomena sosial-ekonomi. Menurut
Manzooruddin Ahmed, Watt menekankan sifat keduniaan (mundane) kelahiran
Islam bukan sifat keagamaannya.[29]
Integrasi sosial dalam pandangan
Watt, sebagai-mana halnya dalam masyarakat komunisme dengan menghilangkan sama
sekali perbedaan ideologis, etnis dan kelas sosial; juga bertentangan dengan
kenyataan. Setelah wafatnya Nabi muncul kelompok-kelompok etnis yang
masing-masing mengklaim diri berhak menjadi khalifah. Ini berarti Islam tidak
pernah menghapuskan kelompok etnis (misalnya, al-Qur'an mengabadikan kelompok
Muhajirin dan Anshar), Islam hanya mempersaudarakan mereka. Al-Qur'an pun tetap
mengabadikan kaum aghniya dan fuqara yang diatur dalam kewajiban
tertentu. Jadi, Islam tidak bermaksud menghapus kelas sosial, Islam mengakui
kebhinekaan di bawah naungan Islam.
2. Pendekatan Teologis: Bias Yahudi dan
Kristen
Sebagian orientalis memandang bahwa
kenabian Muhammad sebagai imitasi dari nabi-nabi dalam Bibel. Menurut
Grunebaum, ajaran Yahudi dan Kristen merupakan instrumen bagi Muhammad dalam
membentuk ide-ide kenabiannya.[30] Ahrens
lebih menekankan agama Kristen sebagai sumber awal inspirasi Muhammad. Di awal
kehidupannya, Muhammad terpengaruh oleh Kristen di wilayah Hijaz, karena itu
agama Kristen lebih dominan mempengaruhi Muhammad dalam merumuskan ajaran-nya.[31] J.
Wellhausen meman-dang Muhammad adalah murid pendeta Kristen dari arah selatan
(Yaman).79 Sedangkan Richard Bell
melihat pengaruh Kristen terutama dari arah utara (Syiria), karena Kristen
Syiria menolak penyaliban Yesus serta
doktrin mengenai Maryam.[32] A. Jeffery juga berpendapat, bahwa Bibel
merupakan sumber awal pengetahuan Muhammad sebagai basis kerasulannya. Konsep
tentang: nabi, rasul, wahyu dan kitab suci diambil dari Bibel.[33] John
Wosnbrough memandang kenabian Muhammad sebagai imitasi kenabian Musa yang
dikembangkan secara teologis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Arab.
Al-Qur'an, menurut Wansbrough bukan berperan sebagai sumber biografi Muhammad,
tetapi sebagai sumber konsep yang pada akhirnya ditetapkan untuk menyusun
teologi Islam tentang kenabian.[34]
Orientalis yang dikemukakan di atas
(kecuali Wansbrough) hidup pada masa kolonial ketika dunia Islam masih di
tangan imperalisme Barat. Imperealisme tidak dapat dipisahkan dari
Kristenisasi. Di abad ke-19 kegiatan imperealisme semakin meningkat dan agama
Kristen menjadi salah satu media imperealisme. Para sarjana Barat ahli agama
Kristem seperti J. Wellhausen berusaha mencari naskah Bibel yang asli untuk
memperkokoh kedudukan Kristen, tetapi tidak berhasil. Memperkokoh kedudukan
Kristen tidak hanya dilakukan dengan merenovasi agama itu, tetapi juga menyerang
agama bangsa jajahan, terutama Islam diletakkan sebagai
agama sub-ordinat, lebih rendah dari agama Kristen karena merupakan tiruan dari
agama Kristen. Sikap ini menyuburkan kembali apologi Kristen terhadap Islam
seperti apologi di masa Perang Salib.
Beberapa orientalis yang menolak
pengaruh agama Yahudi dan Kristen terhadap Nabi Muhammad, misalnya P.K. Hitti
menyatakan, bahwa kedua agama itu tidak pernah menarik minat orang Arab di
Hijaz dan sekitarnya, kecuali beberapa orang tertentu.[35] J. Fuck
juga menolak pengaruh agama Yahudi dan
Kristen terhadap Muham-mad, karena bila Muhammad terpengaruh agama itu
akan membawa pada kontradiksi yang sulit di atasi ,[36]
misalnya, tentang konsep ketuhanan). Namun, J. Fuck juga menempatkan Islam
lebih rendah dari Kristen.
d.
Pendekatan Fenomenologis
Filsafat Fenomenologi yang
diciptakan oleh E. Husserl dijadikan sebagai salah
satu metode pendekatan dalam studi agama yang dikenal dengan fenomenologi agama
oleh: Geradus van der Leeuw, Mircea
Eliade, W. Brede Kristensen, W. Bijlefeld, dll.
Interpretasi fenomenologi cukup
positif dalam studi agama, atas prinsip bahwa kita harus memahami agama lain
seperti yang dipahami oleh penganut agama itu, menghindari presupposisi
(prasangka) tertentu dan mencoba menangkap esensi agama secara holistik.
Fenomenologi agama sangat menolak reduksionisme dan sikap bias dalam mengamati
fenomena keagamaan. Sarjana Barat di bidang studi Islam yang menggunakan
fenomenologi disebut "Islamolog", bukan orientalis. Meskipun pendapat
ini masih kontroversial.
Di antara Sarjana Barat yang melihat
Nabi Muham-mad secara fenomenologis, adalah Maurice Bucaille. Bucaille dengan
tegas menyatakan bahwa Muhammad benar-benar seorang Nabi dan al-Qur'an adalah
wahyu Tuhan. Nabi Muhammad tidak tergantung pada Bibel karena di dalamnya
terdapat kesalahan-kesalahan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Bila Nabi Muhammad mengarang al-Qur'an tidak akan mungkin dapat menyensor
kesalahan-kesalahan dalam Bibel,[37] sebab
al-Qur'an adalah kitab suci yang banyak mengandung informasi ilmu dan tidak
bertentangan dengan Sains modern. Marcel
A. Boisard juga memandang Nabi Muhammad sekedar penyambung lidah wahyu Tuhan,
ia tidak mempunyai kedudukan seperti Yesus dalam Kristen. Boisard dengan tegas
menyatakan: Muhammad orang luar biasa dan Nabi sesungguhnya.[38] Charles
J. Adams dalam salah satu artikelnya mendes-kripsikan kenabian Muhammad, tidak
memberi kesan Nabi meniru dari Bibel dan tidak menderita epilepsi. Bahkan Adams
menolak pendapat orientalis yang menyatakan, bahwa al-Qur'an mengandung sastra
tinggi (terutama ayat Makiah) karena orang Arab ahli Syair, dan al-Qur'an
muncul menandingi kemampuan syair orang Arab.[39] Sarjana Barat
lainnya yang menggunakan interpretasi fenomenologi seperti: William A. Graham,
A. Roet Crollius Ary, Roger Garaudy dll. Bucaille dan Boisard sudah tergolong
menggunakan ideatic vision dalam fenomenologinya tentang Nabi Muhammad,
sedangkan Adams, Graham, Ary dan Graudy masih berada pada tingkat epoche'
(fenomenologi deskriptif).
4. Tinjauan
Umum
Dari keempat metode pendekatan di
atas, pendekatan fenomenologis lebih positif, bahkan Bucaille dan Boisard
cenderung simpatik terhadap Islam dan Nabi Muhammad. Tiga model interpretasi
sebelumnya bercorak reduksionis dan bias. Interpretasi yang demikian
mengabaikan sumber-sumber Islam atau menempatkannya sebagai sumber sekunder.
Mereka menggunakan data yang tidak otentik dan ditundukkan pada kerangka
interpretasi yang digunakan. Charles J. Adams mengemukakan bahwa Sarjana Barat
seringkali mengabaikan sumber Islam. Data yang minim dari Islam mereka
tampilkan dan ditundukkan pada pandangan apriori mereka,[40] sehingga
sulit menghasilkan konklusi yang obyektif. W.C. Smith juga mengusulkan agar
sarjana Barat yang belajar Islam perlu mengemukakan fakta secara jujur dalam
menerapkan tradisi ilmiah Barat dengan adil. [41]Bila
kedua anjuran itu diterapkan dalam studi Islam, maka studi Islam di Barat akan
lebih obyektif.
5.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat
disimpilkan sebagai berikut: Pandangan orientalis terhadap Nabi Muhammad,
secara umum sangat diwarnai oleh sifat hubungan Barat dengan umat Islam. Ketika
Perang Salin berkecamuk, pandangan mereka amat negatif tetapi ketika Eropa
mengalami era renaissance dan pencerahan orang Barat berpandangan positif
terhadap Nabi Muhammad sebagai tokoh yang menampilkan ajaran agama yang
menghargai akal. Abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20 image negatif muncul
kembali untuk mendukung usaha imperealisme yang semakin gencar. Usaha
melemahkan Islam dilakukan dalam bentuk kajian ilmiah dengan menggunakan model
interpretasi yang tidak sesuai dengan substansi masalah. Akan tetapi dengan
kecenderungan sebagian sarjana Barat menerapkan metode fenomenologi, maka
konsep dan konklusi yang mereka sajikan, secara umum tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
25Norma Daniel
menjelaskan bahwa Saracens tidak dapat diidentikkan dengan Islam. Saracens
lebih ekuivalen dengan Maurus (penduduk Mauritania), tetapi kadang-kadang juga
digunakan untuk orang Arab Pra-Islam. Pada bagian lain, Daniel mengartikan
Saracens dengan orang bakal menjadi Islam.
Lihat Norman Daniel, Islam and the West the Making of an Image,
Edinburgh at the University Press, 1960, h. 14 dan 345.